Minggu, 16 Januari 2011

Renovasi Hati

Dear Twelvi,


Sudah 22 tahun aku menjadi sahabatmu. Sekarang berani kukatakan bahwa tak ada yang mengenalmu lebih baik dari aku.


Menurutku, kau adalah seorang yang kuat. Dalam 22 tahun terakhir, ada banyak sekali yang harus kau alami, kau bahkan dipaksa untuk merasakan jauh lebih banyak dari yang harusnya kau rasakan.


Aku ingat sekali, sewaktu masih kecil dulu, kau sering menangis sendiri di kamar. Mulai mempertanyakan apa tujuan Tuhan mengirimkanmu ke bumi. Ah, pertanyaan yang semestinya belum layak kau tanyakan. Usiamu waktu itu 8tahun, saat kau saksikan dengan matamu sendiri ayah membentak ibu dan nyaris menamparnya. Samar-samar kuingat pula, ibumu memegang suatu benda dan mereka saling berteriak… di suatu larut malam hanya satu hari setelah Natal.


Aku ingat tubuhmu gemetar, dari balik selimut kau mengintip ketakutan. Di sebelahmu tertidur pulas dua tubuh yang lebih mungil darimu. Adik-adikmu. Malam itu kau hanya bisa diam dan menyaksikan ibumu menangis dan wajah ayahmu memerah. Segala sudut rumah dipenuhi amarah.


Tapi kau tak mampu berkata apa-apa. Bahkan untuk menangispun kau bingung.


Aku ingat betul, keesokan harinya kau pergi mengadu pada Opung. Lalu sebagai manusia-manusia dewasa, entah apa yang mereka rembukkan. Di ruang tamu. Siang itu.


Kau memilih untuk tidak mau tahu (atau mungkin karena kau memang belum tahu).


Aku lalu ingat, malamnya kau berkumpul bersama teman-teman Gereja dan mereka mulai bertanya.


“Kalau orangtuamu berpisah, kau akan ikut pada siapa?”


Rupanya kabar ini sudah sampai ke telinga tetangga.


Kau… malu.


Alih-alih menjawab pertanyaan mereka, kau terdiam. Aku ingat saat itu apa yang terlintas dalam pikiranmu. Kau mulai menimbang-nimbang lebih sayang pada siapa. Ayah… atau ibu.


Kau juga sempat bertanya-tanya pada diri sendiri, siapa yang tampaknya lebih sayang padamu. Ayah… atau ibu.


Entah kenapa, kau mulai menyalahkan dirimu sendiri. Ada godaan yang begitu kuat. Godaan untuk mengutuk diri sendiri.


“Apa mungkin ayah dan ibu begini karena sesuatu yang sudah kulakukan?”, berulangkali kau bertanya pada diri sendiri. Sambil mencoba mengerti. Apa, kenapa, siapa, dan bagaimana.


Tapi tak kau temukan jawabnya.


Kau lalu mencari Tuhan.  Mencoba menanyakan. Dia tidak menjawab. Aku ingat kau hanya menemukan sebaris kalimat dalam Alkitab “…Sekalipun ayahku dan ibuku meninggalkan aku, namun TUHAN menyambut aku….” (*Mzm 27:10)


Sesederhana itu, lalu kau jatuh hati pada-Nya. Pada konsep cinta sejati yang dijanjikannya. Pada harapan.


Sesederhana itu, lalu kau memilih menghapus airmata, dan percaya bahwa semua akan baik-baik saja.


Waktu berlalu, tahun berganti. Melihat ayah dan ibu yang tetap bersama, perlahan kau mulai mengerti cinta orang dewasa.





Dear Twelvi,


22 tahun hidup di bumi, ada banyak sekali yang sudah kau alami. Pahit-manis. Susah-senang. Ada hal-hal yang seolah memaksamu lebih cepat dewasa dari usiamu yang sesungguhnya.


Kaupun telah merasakan sendiri bagaimana yang dinamakan cinta. Ada masa-masa di mana kau akan terjatuh, merangkak, berjalan tertatih…


Tapi pada akhirnya kau memiliki kekuatan untuk berdiri tegak, bahkan dengan sangat kuat berlari.


Ingatlah ini.





Dear Twelvi,


Kau tak perlu menjadi sempurna untuk bisa dicintai, karena sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna.


Kau tidak perlu menjadi semurni Ghandi untuk bisa mengasihi, karena sesungguhnya setiap manusia punya hati nurani.


Kau hanya perlu menarik nafas dan menjalani hidup, sehari demi sehari.


Ingatlah ini.





Dear Twelvi,


Kau seringkali merasa dirimu tidak layak, merasa bersalah, merasa gagal, tidak punya harapan. Kenapa?


Kenapa harus merasa begitu?


Tidakkah kau sadar, dengan merasa begitu, kau tidak menerima kenyataan bahwa kau adalah seorang manusia.


Menjadi manusia berarti kau akan mengalami perih, bukan hanya bahagia.


Sakit, bukan hanya gembira.


Jatuh terjerembab, bukan melayang-layang di udara.


Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.


Percyalah bahwa tak ada sesuatu apapun di dunia ini yang tidak ada harganya.


Jika rumput liar di hutan saja dipelihara Semesta, terlebih lagi dirimu.


Ada hari dalam hidup di mana kita akan merasa sangat rendah dan tidak berdaya.


Hari ini sudah pernah kau alami, tapi toh kau masih bisa berdiri di sini saat ini.


Dan jika dia kelak datang lagi, ingatlah ini.


Pada akhirnya, kau pasti akan baik-baik saja.


Ingatlah bahwa kau cukup kuat untuk bisa melewati semuanya.


Bukankah kau sendiri pernah bilang “…Dalam hidup ini, ada tembok yang harus kita panjat. Semakin tinggi tembok yang berhasil kita panjat, semakin besar kebahagiaan dan kepuasan yang akan kita rasakan…” ?





Dear Twelvi,


Jangan menyerah.


Dalam hal apapun, jangan pernah menyerah.


Selalu ingat bahwa akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang sempit dan gelap.


Dan perjalananmu sudah terlanjur jauh untuk menyerah sekarang.


Bertahanlah.


Sebentar lagi.


Kita hampir sampai.





Ingatlah selalu orang-orang yang mengasihimu.


Yang dalam doanya selalu ada namamu.


Opung.


Mama.


Papa.


Beberapa sahabat.


Ingatlah bahwa orang-orang itu masih membutuhkan senyummu.


Ingatlah bahwa akan ada hati yang terluka jika kau memilih untuk menyerah sampai di sini.


Ingatlah selalu ini.





Dear Twelvi,


Ingatlah selalu bahwa tak ada manusia yang hidup tanpa masalah.


Dan ketika kau merasa terlalu lemah untuk bangkit berdiri, ingatlah untuk meminjam tangan orang lain.


Jangan pernah sedetikpun berpikir bahwa kau sendiri.


Masih ingat mimpi kita, kan? Masa depan yang seindah pelangi.





Aku… akan selalu mencintaimu sampai mati.





Stay strong.


Salam sayang, Twelvi.


(diposting oleh @ladyzwolf di http://twelvifebrina.wordpress.com/2011/01/17/renovasi-hati/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar