Selasa, 18 Januari 2011

Surat ke-1

Hai, Cantik! Pasti surat ini kautemukan saat kau teramat merindukanku, sehingga kau mencari-cari bau tubuhku yang tertinggal di kemeja yang tersimpan di dalam lemari. Aku sengaja menyelipkannya diam-diam di sana sebelum aku benar benar meninggalkanmu. Apakabar kamu, Sayang? Apa kabar anjing-anjing nakal kita? Apakabar motor vespa kesayangan kita? Sayang, berjanjilah untuk tidak menangis saat membaca surat ini. Kau tentu ingat satu kalimat dari sajak yang pernah kutulis untukmu: “Kesedihanku, barangkali adalah ladang yang subur saat musim penghujan di matamu.” Tentu kau tak ingin hal itu terjadi, Sayangku.

Kau harus segera melupakan aku, sebab sekarang aku mungkin telah berada di tempat yang jauh dari jangkaumu. Suatu tempat yang orang-orang biasa sebut dengan kata ‘Surga’. Ah! Tapi bukankah aku pernah bilang bahwasanya surga adalah tempat di mana kau diletakkan begitu dekat dari jangkau lenganku. Tapi ternyata itu salah, Sayang. Surga barangkali adalah suatu tempat di mana aku masih bisa melihat senyummu, maka berilah aku surga setiap hari.

Aku tahu, pasti kau sedang membaca surat ini sambil menghabiskan berbungkus-bungkus rokok menthol kesukaanmu. Berhentilah, Sayang. Kau pasti ingat apa yang pernah kukatakan ketika kau telah menghabiskan 1 bungkus rokok dalam setengah hari. Aku bilang bahwasanya rokok yang kaubakar dan merusak paru-parumu, tanpa sadar telah merusak juga kebahagiaan pada masa tuaku. Tapi sialnya aku tak bisa menghabiskan masa tua dengamu.

Oh iya, apakah kauingat saat saat kita kencan? Aku selalu ingat saat di bioskop dan lampu dimatikan, kau selalu menutup wajahmu di bahuku. Maka, kau harus segara mencari bahu baru, Sayang, yang lebih besar dari bahuku, karena kau sering mengeluh tentang bahuku yang terlalu kecil untuk tempat bersembunyi saat takut dulu.

Apakah sepeda yang kubelikan sudah sampai? Sepeda mini yang rencananya akan kupakai untuk jalan-jalan sore hari bersamamu. Entah kenapa semenjak sakit aku selalu ingin melakukan hal itu denganmu. Tapi aku tahu bahwa aku tak pernah bisa melakukannya. Maka, apakakah kau mau melakukannya dengan seseorang lain untukku?

Sayang, surat ini adalah salah satu surat yang kutinggalkan untukmu, dan masih ada beberapa surat lagi yang harus kaubaca. Surat-surat yang kutinggalkan harus kaubaca satu-satu sesuai hari dan tanggal yang telah kutulis pada amplopnya. Dan pada akhir surat ini aku menuliskan puisi sederhana untukmu, tentang aku yang sangat ingin mengajakmu bersepeda.

Mengajakmu Bersepeda

Mari kujemput kau sebelum timur menyala,
Sebelum embun pagi menguap sia-sia.

Kita susuri jalan ini bersepeda,
kau dibelakang boleh peluk tubuhku,
sedang aku di depan yang menjaga keselamatanmu.

Tiada rambang melaju,
kita hantam segala batu,
biar berdegap-degap jantungmu
dan lepas segala tawaku.

Seumpama hujan turun perlahan,
kulajukan sepeda lebih cepat
sebelum hujan menjadi lebat,
kita tinggalkan hujan di kelok jalan, sendirian.

Kita lajukan arah sampai ke taman di ujung jalan:
bermain tali atau bola kaki,
aku dan kau sepasang kanak-kanak lagi.
Jika ada yang jatuh
siapapun bebas menangisi.

Berbahagialah hari ini, sayang.
Sebab kepergian tak pernah melingkari
angka pada tanggal,
maka kita tak tahu siapa yang harus
menangis dan tetap tinggal.

----
(dikirim oleh @radityanugie di www.nugieraditya.wordpress.com

1 komentar: