Senin, 17 Januari 2011

Untuk Kamu

Pagi ini, saya menuliskan surat untukmu dalam perjalanan ke kantor. Iya, perjalanan yang mengharuskan saya melewati kantormu. Every single day. Karena saya tak punya pilihan jalan lain.

Mengertikah kamu sekarang bahwa mencoba melupakanmu adalah kesia-siaan untuk saya ? Ingatan saya yang sangat tajam terhadap detil, termasuk tanggal, tempat, kata-kata dan ekspresi wajah, terutama apabila memori tersebut bertaut erat dengan hati, ditambah pula dengan hal-hal yang memicu ingatan saya semacam ini.

Sudah berapa lamakah ini sejak kiamat hati itu terjadi ? Sekitar enam bulan, rasanya. Memang saya sudah tak lagi terisak-isak atau berderai air mata ketika melewati kantormu, tetapi otak saya masih saja selalu memutar ulang serangkaian kejadian di suatu pagi pertengahan bulan April lalu.

Pagi itu, pertama kali dan sekali-kalinya, saya mampir ke tempat tinggalmu, mengantarkan sesuatu untukmu. Lalu saya mengantarkanmu ke kantor. Walaupun rasanya kita duduk bersisian tak lebih dari lima menit, tapi sejak hari itu segalanya tak lagi sama.

Hari-hari setelah itu adalah hari-hari saya dan kamu didera rasa rindu tak berkesudahan. Ketika lampu indikator merah blackberry saya berkedip terus menerus, karena pesan yang tak henti datang darimu. Ketika bahkan jam kerja tak lagi menghentikan kita untuk bertukar cerita. Ketika waktu tidur kita terputus-putus disela percakapan sepanjang malam hingga pagi, yang bagi saya bahkan seringkali berlanjut hingga ke dalam mimpi. Ketika saya bahkan merasa perlu mendengar suaramu setiap hari. Ketika kamu berusaha keras menemukan waktu untuk menculik saya sepulang kantor dan saya memutar otak untuk mencari alasan agar supir saya tak perlu menjemput. Ketika lalu sialnya, beberapa hari kemudian saya malah harus pergi ribuan kilometer jauhnya selama tiga minggu yang membuat deraan rindu semakin menjadi-jadi.

Ternyata kepergian tiga minggu saya itulah yang lalu menjadi titik balik hubungan kita. Kita tetap bertukar cerita walau tak bisa seintens ketika berdekatan. Saya sama sekali tak menangkap gelagat adanya perubahan apapun padamu sekembalinya saya ke Jakarta. Nyatanya, di saat kita berjauhan itulah, kamu lalu berpikir tentang banyak hal, yang lalu berujung pada perpisahan kita dua bulan kemudian.

Saya sempat menyesali kepergian itu, merasa bahwa itulah sebab mengapa sekarang saya tak lagi bersamamu. Tapi akhirnya saya menyadari, bahwa ternyata tak ada yang perlu saya sesali, karena sungguh tak ada hubungannya sama sekali. Bukankah menurutmu, rasa sayangmu untuk saya sudah ada dan tak berubah sejak belasan tahun lalu ? Rasa yang tersimpan rapi dalam hatimu, melewati begitu banyak rangkaian kisah dalam hidupmu, yang membuat saya terkesima - bahkan tersanjung karenanya. Sekian lama dekat denganmu, saya kira rasa itu telah mengkristal, lalu hilang dari perasaanmu, ketika kita menyelesaikan kuliah delapan tahun lalu. Ternyata tidak bagimu.

Lalu apakah rasa yang sama, yang telah mampu bertahan melalui belasan tahun, jarak yang membentang hingga setengah bumi, melewati masa bertahun-tahun tanpa komunikasi sama sekali selain sms ulang tahun dan Lebaran, lalu hilang hanya karena tiga minggu terpisah jarak namun terikat hati ? Rasanya tidak. Yang saya tahu kini hanyalah bahwa kamu memutuskan untuk tidak memilih saya entah untuk alasan apa, dan saya hanya harus menerima, sesulit apapun itu.

Ah, sudahlah. Sahabat saya bilang, saya tak boleh menggali terlalu dalam. Luka itu masih basah. Tapi agar kamu tahu, hari ini saya membuat banyak sekali kemajuan. Saya menuliskan ini semua tanpa berlinangan air mata, walaupun saya bisa mengingat sempurna hampir seluruh rangkaian cerita itu.

Lepaskan saya, ya ? Doakan agar saya kuat mengikhlaskanmu dan saya janji, saya akan berusaha semampu saya untuk melakukan itu. Saya mendoakanmu dan dia, agar kalian dapat menjadi yang terbaik untuk satu sama lain, karena ketika ikatan itu kalian jalin dengan nama Allah, kalian memiliki kewajiban untuk memperjuangkannya. Saya berharap, seberat apapun, kamu merelakan saya dan mendoakan yang terbaik untuk saya, apapun itu.

Doa yang tulus akan selalu sampai, kan ? Walaupun kita takkan lagi perlu bertegur sapa dan bertukar cerita - saya sungguh tak ingin lagi menyisakan harapan apapun untukmu.

Always,
Emi



--- Oleh: emiralda


(diambil dari: http://emiralda.posterous.com/untuk-kamu-day-4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar