Senin, 17 Januari 2011

Untuk Mendiang Ayah

Halo Ayah.


Baru berkata sapa saja tangisku sudah mau tumpah. Masih perlukah menanyakan kabarmu, Ayah? Yang kuyakini engkau sekarang berada di tempat terbaik. Karena orang-orang baik, sepertimu, ketika sudah menyeberang ke alam sana pasti akan diberikan tempat yang selayaknya.


Kabarku baik, Ayah – seandainya engkau bertanya. Tempo hari waktu aku berkunjung ke tempat jasadmu ditanamkan, aku sempat berdoa. Kutitipkan salam untukmu pada Tuhan. Kubilang, kabarku baik, tak banyak berubah. Seperti biasa aku bercerita. Tentang hari-hariku, tentang Ibu, tentang teman-temanku, lalu tentang dia yang setia di sisiku. Semoga itu pesan tersampaikan, dan engkau mendengarkan.


Sesungguhnya apa yang tak pernah kuungkapkan, Ayah, adalah hari-hari pertama engkau meninggalkan kami. Bagaimana kakakku yang tangguh terisak di pelukku. Bagaimana Ibu kangen padamu. Bagaimana aku berjalan timpang tanpa gandengan tanganmu. Bagaimana kami membereskan harta bendamu yang terasa ikut kehilangan nyawa bersama dengan kepergianmu. Lukisan terakhirmu yang tak akan pernah terselesaikan. Dawai gitarmu yang tak lagi didentingkan. Surat cintamu yang tak sempat tersampaikan. 


Tapi kami bertahan, Ayah. Kami meneruskan kehidupan. Dan aku, aku meneruskan impian. Aku meneruskan semua yang pernah kauajarkan. Bagaimana hidup saling mengasihi. Bagaimana menghargai karya seni. Bagaimana memuja Ilahi.


Surat cintaku yang singkat ini kutulis karena malam ini aku ingin mengenangmu sejenak, Ayah. Karena sungguh kusadari engkau yang telah membuat hidupku indah. Dan kalau engkau bisa, aku ingin malam ini engkau ikut mengenang kebersamaan kita yang terasa amatlah singkat, yang sesaat sebelum nafasmu berhenti kemudian berakhir dengan kalimat: “Aku sayang sekali padamu, Ayah. Tapi aku yakin Tuhan lebih sayang lagi padamu.”


Penuh cinta,


Aku.
jam 23.04


(dikirim oleh @miyaa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar