Sabtu, 29 Januari 2011

Selamat Pagi, Perempuan Sore!

Dear Theo,

Jika aku menulis surat ini untukmu, itu bukan hanya karena aku ingin menepati janjiku kepadamu (dan kepada diriku sendiri). Sama sekali bukan. Tetapi lebih karena aku berhutang “ingatan” kepada kamu.

Oktober 2010 di suatu sore. Mendadak aku mendapat “balasan” dari kamu melalui Twitter setelah aku me-retweet sebuah tweet-mu. Entah tentang apa, aku lupa. Tapi yang pasti ketika itu aku lumayan kaget karena seorang @perempuansore menanyakan kabarku, karena menurutnya ketika dia pulang seusai siaran dia tiba-tiba teringat padaku di dalam angkot. Dan memang saat itu adalah awal dari titik terendah dalam hidupku, yang mencapai puncaknya (mudah-mudahan) pada saat ini. Lalu kita saling bertukar sapa dan rasa melalui DM. Aku sungguh terharu saat itu. Aku rasa, kamu adalah salah satu malaikat penjaga yang Tuhan aku kirim untuk aku…

Kamu menawarkan diri untuk mendengarkan aku di saat aku benar-benar butuh untuk didengarkan. And it meant the world to me, Theo!

Sebenarnya, aku “menemukanmu” melalui sahabatmu. Sang @sepatumerah. Aku membaca sekilas garis waktumu, lalu aku mulai menguntitmu di Twitter. Ketika kamu menebar hujan dan haiku di garis waktu, aku ikut bermain.

Dan sekarang aku kembali ikut “bermain” dalam proyek #30HariMenulisSuratCinta. Sedikit banyak, aku jadi belajar mencari-cari alasan mengapa aku mencintai seseorang. Memang cinta tidak perlu alasan, tetapi cinta pasti memiliki alasan. Dan untuk tetap berada dalam lingkaran cinta, diperlukan lebih dari sekedar alasan. Terima kasih, Theo. Selama lima belas hari ini, aku belajar lebih mencintai dan aku menemukan banyak alasan untuk mencintai lebih dari sebelumnya. Ya, aku akui kadang di beberapa suratku, aku tidak benar-benar menulis surat cinta. Kadang terselip semacam surat keluhan :))

Theo,

Tadi sore aku bertemu dengan @fatimaalkaff. Aku katakan kepadanya, bahwa selain dia, ada seorang tweep yang sangat ingin aku temui suatu hari. Kamu. Mungkin karena “kejadian” di bulan Oktober tahun lalu, tapi mungkin lebih kepada kepribadianmu yang menarik dan unik. Kamu luar biasa dalam caramu yang biasa, Theo. Aku tidak pandai memuji orang. Aku pelit dalam pujian. Jadi ini bukan pujian, tapi pengamatanku semata. Bahwa kamu sangat berbeda dari siapa pun yang pernah aku temui. In a good way, of course.

Dear Theo,

Aku suka tulisanmu. Aku suka rambutmu. Aku ingin bisa menulis seperti kamu dan mempunyai rambut keriting seperti itu. Aku suka warna kulitmu dan kurang suka pada warna kulitku. Mungkin seharusnya aku dilahirkan di keluarga yang lain ya? :)) Tapi aku sayang keluargaku, dan aku percaya Tuhan pasti punya rencana yang mulia ketika Dia menempatkan aku dalam kandungan ibuku. Jadi ya sudahlah. Aku pasrah. Tapi aku tetap ingin bisa menulis sepertimu!

Theo yang cantik,

Tetaplah menghiasi garis waktu dengan kata-kata seindah hujan di kala sore. Terima kasih untuk memberkati aku dengan tweets-mu. Tetaplah bersinar, Theo. Dan semoga suatu hari nanti, kita dapat benar-benar bertemu.

Selamat pagi.


Dan lalu Theo membalas suratku! :’)


---Oleh:


(diambil dari: www.poeticonnie.tumblr.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar