Minggu, 30 Januari 2011

Surat (tentang) Cinta

Untuk kamu yang disana membaca surat ini, yang dulu disini menyusun kata membuat surat ini.


Tak mengerti?


Sudahlah!


Aku, kamu, kita memang tak pandai urusan S-P-O-K.


Karena kamu, begitu juga aku selalu merasa mengapa sesuatu yang bisa begitu mengalir seperti kata yang akan terucap harus mandek karena rumus subjek-predikat-objek-keterangan-nya tak sesuai.


Biar saja yang lain berdebat.


Toh kita mengerti.





 Baik,


Saat kamu membaca ulang surat ini, aku sudah tak lagi ada.


Aku sudah menjelma jadi bentuk lampau.


Kisah lalu, yang akan terus mengikuti langkahmu.


Hingga nanti.


Sesuatu yang nyata tapi tak lagi dapat disentuh.





Surat cinta.


Itu yang mau aku buat.


Untuk kamu.


Ya, aku adalah kamu, kamu adalah aku.


Hanya masa dan cerita selama masa itu yang membedakan kita.


Lalu aku menyurati diri sendiri?


Pasti kamu saat ini menganggap ku gila.


Eh! Tapi kalau aku gila, kamu juga gila!


Kalau dipikir lagi…


Iya sih!


Gila!


Buat surat cinta kok untuk diri sendiri.


Apa tidak ada pria yang mau mengirimnya untuk kamu? Untuk aku? Untuk kita?


Baiklah…


Untuk menyarukan kegilaan kita, bagaimana kalau aku tambahkan satu kata diantara ‘surat’ dan ‘cinta’?


TENTANG!


Ya, Surat Tentang Cinta.


Karena memang surat ini untuk kamu, agar kamu ingat tentang cinta, tentang dia, dan semua tentang kalian berdua.


Bukan surat cinta dari aku untuk kamu, -yang adalah satu substansi yang sama-.


Aku bukan Narcissus yang cinta pada dirinya sendiri.





Saat kamu membaca surat ini, tak ada yang dapat menjamin bagaimana keadaanmu disana.


Apa dia masih dengan mu?


Apa cinta masih bersama kalian?


Tak ada jaminan.


Andai saja perusahaan asuransi berani menjamin cinta…


Tapi tidak.


Jadi apa pun yang telah dan akan terjadi antara kamu dan dia saat kamu baca surat ini, aku hanya mau kamu mengingat.


Mengingat tentang cinta yang pernah (dan semoga akan terus) kalian punya.



Apa kamu ingat?



Apa kamu ingat?


Apa kamu ingat bagaimana kalian bertemu pertama kali?


Dia kakak ospek bertampang sangar, bertubuh subur, memakai ransel yang kekecilan untuk ukuran tubuhnya, mondar-mandir sana-sini sambil teriak-teriak.


Mengganggu acara ‘mencuri tidur’-mu saat sesi materi dari dekanat.


Kalau saja itu bukan acara ospek, dia bukan kakak ospek, dan kamu bukan mahasiswa baru, kamu pasti sudah melempar apa saja yang bisa dilempar kepadanya karena berani mengganggu tidurmu.





Apa kamu ingat?


Apa kamu ingat persis bagaimana kalian jadi dekat?


Aku rasa tidak.


Saat aku menulis surat ini untuk mu pun, aku tak ingat jelas bagaimana kronologisnya.


Tapi kamu pasti ingat jelas.


Ingat bagaimana ia mendadak memenuhi harimu, memenuhi hidupmu.


Dan kamu senang hidupmu mendadak penuh dengan semua tentang dia.


Kamu juga tentu ingat pernah menyangkal kalau kamu senang ia masuk ke hidupmu.


Tapi, cinta tentu saja menang mutlak diatas penyangkalan itu.





Apa kamu ingat?


Malam itu di Puncak.


Makrab angkatanmu.


Saat yang lain sibuk dengan api unggun…


Kamu dan dia, meskipun tak berdua, menyelinap ke luar villa.


Mamang-mamang jagung bakar dan poffertjes jadi saksinya.


Puncak pas, tengah malam.


Dan kamu sok jagoan keluar villa dengan celana pendek.


Untung saja ada pashmina dalam mobilnya.


Pashmina itu ia gunakan untuk menghangatkanmu.


Ya, sangat hangat.


Meski sebenarnya hangat itu tak utuh ulah pashmina, tapi juga ulah desiran adrenalin yang mengalir dalam darahmu saat itu.


Adrenalin yang mengalir dari jantung bersama deg-degan mu.


Pashmina yang saat aku menulis surat ini terlipat rapi dalam lemariku.


Yang masih bisa membuatku tersenyum tiap melihatnya.


Apa saat kamu membaca ulang surat  ini, pashmina itu masih bisa membuatmu tersenyum?





Apa kamu ingat?


Restoran cepat saji di bilangan Cibubur?


Lewat tengah malam.


Kamu yang sableng memesan orange juice porsi besar dengan banyak es.


Bukan pilihan yang bagus untuk waktu tengah malam.


Dia yang menyusul masuk setelah parkir, masuk ke dalam tanpa alas kaki.


Nyeker!


Mondar-mandir dalam restoran cepat saji yang diikuti cekikikan iseng si pramusaji.


Kemudian semua pesanan siap.


Oh ya, jangan sampai lupa, ada seorang sahabat di dalam mobil, yang perannya cuma pindah tidur.


Aku bahkan curiga saat itu dia sebenarnya pingsan.


Lalu…


Kamu dan dia kembali ke rumah seorang teman, yang saat itu lebih pantas disebut markas, rumah yang hari itu dijadikan tempat menginap segerombolan teman untuk merayakan sebuah kemenangan.


Semua normal-normal saja.


Awalnya.


Mobil mulai masuk ke dalam kompleks, jalannya melambat.


Sampai di suatu polisi tidur, tiba-tiba dia mengecup lembut keningmu untuk pertama kali.


Kamu diam.


Andai saja dia tahu kalau saat itu mendadak ada puting beliung di rongga dada dan perutmu.


Sahabat pun diam, jelas saja, ia asik dengan tidurnya.


Dia…


Entah apa yang dia rasakan saat itu.






Apa kamu ingat?


Bandung, Dago Pakar, malam sehabis hujan.


Tepat saat ulang tahunmu.


Dia yang biasanya punya seragam kebangsaan: kaos oblong warna putih, abu-abu atau biru–celana jeans–sendal karet atau sukur-sukur sepatu futsal, hari itu sangat rapi.


Ganteng.


Meski sebenarnya dengan seragam kebangsaannya pun kamu juga sudah bisa dag-dig-dug dibuatnya.


Makanan dan minuman sudah habis.


Menyisakan rasa kenyang dan nyaman ditemani angin malam Dago sehabis hujan.


Sahabat-sahabatmu yang hari itu juga ikut mendadak beser seketika.


Semuanya kabur ke toilet.


Menyisakan kamu dan tentunya dia.


Berdua.


Dug-Dug-Dug.


Jantungmu berdetak lebih cepat.


Dia menarik tanganmu, mengggenggamnya.


Meminta kamu untuk jadi pacarnya.


Satu tangannya menyelusup ke dalam kantong bajunya, mencari sesuatu.


Sebuah cincin bermata satu.


Mencoba memasangkannya di jari manismu.


Kalau itu cerita romantis pasti si cincin langsung bertengger manis di jarimu.


Sketsa cerita sedikit berganti ke sketsa komedi.


Ternyata cincin itu sedikit lebih mungil dari ukuran diameter jari manismu.


Dia yang sadar cincin itu tak muat dengan jari manismu langsung gelagapan.


Kamu..


Kamu terlanjur jatuh cinta.


Kamu bilang mau jadi pacarnya.


Kamu pindahkan cincin itu ke jari kelingking kirimu.


Pas!


Cincin yang mungil yang hingga saat aku menulis surat ini masih melekat manis di kelingking kiriku.





 Apa kamu ingat?


Berapa kali kamu menangis untuk dia?


Tak sedikit.


Bukan, bukan karena dia laki-laki dan dia brengsek.


Bukan.


Tapi karena kamu cinta dia.


Kamu jadi lebih lemah dan cengeng di depan dia.





Apa kamu ingat?


Sekali-dua kali, saat kalian sama-sama terlalu marah, putus jadi pilihan.


Untungnya rasa yang kalian punya selalu berhasil buat kamu dan dia bersama lagi.





 Apa kamu ingat?


Saat dengan bodohnya kalian mengusap ingus di hidung masing-masing.


Karena kamu tak kuasa menolak ciumannya saat kamu sedang flu berat.


Kamu sudah tahu pasti akan menularkan.


Begitu juga dia, dia sudah tahu pasti tertular.


Kalian hanya tak mau ambil pusing.


Itu hanya ciuman.


Flu urusan belakangan.





 Apa kamu ingat?


Bagaimana dia bisa membuat kamu merasa PMS di luar jadwal.


Mau marah, ngambek dan ngomel-ngomel.


Lalu hanya dengan satu-dua hal kecil dia bisa membuat kamu nyengir dan luluh lagi.


Kamu terlalu sayang dia, sehingga kamu tak akan mampu semarah itu padanya.





 Apa kamu ingat?


 Aku akan selalu ingat.


Saat kamu membaca ulang surat ini, semoga kamu belum lupa tentang cinta itu.


Kalau kamu memang lupa, semoga setelah membaca ulang surat ini kamu bisa mengingat semuanya dengan jelas.


Mengingat tentang kamu, tentang dia, tentang kalian.



—Bersambung…—






***Ya, bersambung meski ini bukan sinetron. Bagaimana mungkin sebuah surat bisa cukup untuk mencakup semua rasa tentang cinta yang penah dan akan ada antara kamu dan dia? Sebuah surat tentang cinta tak akan cukup untuk merangkum rasa kamu dan rasa dia. Setidaknya dengan ‘bersambung’ yang aku sematkan diatas, meskipun nantinya aku lupa atau terlalu malas merangkai kata untuk surat tentang cinta episode dua, kamu akan ingat: bersambung.


Bersambung…


Bahwa kamu pernah merasa, rasa diantara kamu dan dia tidak akan berkesudahan




***Satu lagi. Ingatlah, saat aku membuat surat  ini, beberapa hari lagi (di masa aku tentunya) kamu dan dia akan genap membodoh selama 3.5 tahun. Angka biasa.Tapi kamu ingat kan? Semua tentang dia dan kamu akan selalu jadi spesial.


 Dari aku untuk kamu, yang tak lain dan tak bukan adalah diriku sendiri di masa depan nanti.


 Mia Hasan.


(oleh mhiehasan di http://miahasan.wordpress.com/2011/01/30/surat-tentang-cinta/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar