Jumat, 14 Januari 2011

Kepada Lembayung Senja

Bi’ Sum begitu kami memanggilnya 32 tahun bekerja untuk keluargaku, setiap malam aku selalu duduk di belakang sambil mendengar dia bercerita tentang kehidupannya di Desa. Untuk umurnya yang 60an, sudah hal yang lumrah kalo kadang dia selalu mengulang cerita yang sama.

Dia buta huruf, karena tidak mengenyam yang namanya pendidikan sejak ia kecil. Dan ini, akan aku tuliskan surat cinta kepada seseorang yang pernah ada dihatinya.



Kepada lembayung senja,

Langit memudar saat aku menulis ini. Tapi, sampai kapanpun, langit akan selalu terlihat pudar. Seperti mataku ini, yang cahayanya mulai redup karna umurku yang sudah senja. Apa kabarnya dirimu? Pelan-pelan aku sudah mulai lupa bagaimana harusnya menyapamu. Kau tau, setiap hari aku selalu rindu. Rindu padamu dan caramu memegang tanganku dulu ketika kita akan pergi bersama pagi-pagi menuju sungai kecil untuk mengumpulkan batu halus.

Sudah lama berlalu, dan aku, benar-benar tidak tahu kapan lagi kita akan bertemu. Memikirkannya membuat jantungku terasa sakit, sakit yang sama yang dulu aku rasakan ketika aku tau kau akan menikah lagi dengan Ruminah, sahabat baikku sendiri.

Asep, begitu dulu aku memanggilmu. Panggilan sayang yang dulu sering aku bisikkan merdu di kupingmu, memanggilmu sayup untuk kita memulai hari bersama. Dan lalu kau akan mulai memegang pundakku dan mulai memeluk tubuhku. Hangat, lembut.. Sampai mataharipun terlihat iri melihat kita yang lebih terasa hangat.

Sekarang semua terlihat samar, umurku yang sudah renta ini mulai menghilangkan sisa-sisa kenangan yang aku simpan manis dalam kotak ingatanku. Guratan demi guratan langit sore terlihat abu-abu, semakin nyata seperti keriput yang terlukis acak di bawah mataku.

Boleh aku meneteskan air mata? Akan aku kirim bersama kisah sedih lembayung senja ini. Karna bumi memutuskan mengambil dirimu kembali ke yang kuasa sebelum aku. Akan aku titip pada hujan harum badanku yang suka kau ciumi di sore hari.

Lembayung senja, aku lelah. Sampaikan padanya, sisa kekuatan untuk aku bertahan sudah rapuh. Seakan ragaku hanya terduduk lemas menanti setitik sinar yang waktu itu pernah aku rasakan bersamanya. Jika kau tak bisa membawanya kembali, bawa aku pergi bersamanya.

Ini rindu. Sampaikanlah surat ini. Walau aku tau, tak berbalas.

Tertanda,

Sumiarti Ajeng


(diambil dari: http://heykila.tumblr.com/ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar