Sabtu, 22 Januari 2011

Kepada Wanita Masa Lalu

Untuk wanita tangguh, yang pernah mencintaiku.

Kepada warna kedua di barisan pelangi, di dalam enam lain yang jadikannya indah. Aku bersahabat dengan jingga, kicau burung senja, kepak kelelawar yang lapar dan matahari yang lelah menuju peraduannya tak sabar, saat menulis surat petang ini. Tak perlu kau awali suratku dengan basmalah seperti saat kau melantunkan al-fatihah. Cukup kau lafadzkan sebuah memori tentang kita yang pernah buatmu bahagia.

Kepada engkau, wanita emas berselimut perak yang pernah kucinta.
Bagaimana detik dan menitmu berbicara di sana? Apakah tentang suka, kelahiran sebuah cinta, peluk renyah suara tawa, senyum simpul seutas canda, atau mungkin ayat-ayat yang kau suka, yang kau cintai penulisnya dengan air mata malam sepertiga? Apapun itu yang sedang kau jamu dalam hatimu, kuharap bukan seperca luka, remah duka atau pun setitik lara. Aku hanya punya doa untuk segumpal asa di langit, tentang kamu yang tersenyum bahagia.

Hei wanita yang kupikir batari surga yang tersesat di bumi.
Sudah setengah perjalanan bumi bertamasya berkeliling matahari rupanya, saat air mata kita beradu dalam satu kata yang mengakhiri jumpa. Saat-saat dimana aku merasa begitu mencintaimu, sangat menyayangimu. Adalah hari dimana aku harus melepasmu.
Kupikir saat bumi bermusafir setengah matahari bukan waktu yang lama untuk cahaya. Tapi masa dimana cukup waktuku untuk menyimpan namamu dalam balutan kenangan sutra. Yang terindah semasa aku belajar apa itu arti cinta.
Dan kukira, inilah waktu serupa ketika aku menjadi lelaki paling beruntung dalam setiap puntung-puntung waktu yang tak sempat kuhitung. Ketika aku menjadi lelakimu, ketika kamu menjadi perempuanku. Kurasa juga, tiap angka dalam masehi tak bernyawa itu salah menghitung waktu kita tak sampai satu purnama rembulan bercahaya. Mungkin dalam hitungan nyata aku memilikimu tak sampai bulan separuh bertemu purnama. Tapi dalam hitungan cinta aku memilikimu umpama matahari terbelah dua, dan bumi mengelilinginya.

Hei puan di dalam doa.
Apa kabar wanita pemilik hati baja yang tercipta dari kepompong ditinggalkan rama-rama? Wanita tempat kau belajar cinta dan berbahasa. Aku tahu usia ia semakin menua. Dan fisiknya tak sekuat selagi ia muda. Jagalah ia puan, sampai aksara tak lagi bisa berbahasa, sampai pahala tak lagi ia gapai lewat kuasa. Dan seperti yang sangat fasih kau ketahui, tiap doa yang kau kata adalah untaian permata yang keluar dari bibirmu, sebagai pemberat di timbangan pahala miliknya.

Hei wanita hujan.
Seperti apa rupa mimpimu? Masih tergantungkah di langit asa, atau tertiup oleh angin berpenyakit lupa seorang manusia? Turki. Masjid Biru, Aya Sofya, musim salju. Indah bukan buatan jika kau habiskan senja di sisa-sisa tahun yang hampir habis bersama seorang pria yang amat kau cinta. Kau lihat matahari jatuh di pepohon jalan yang tak lagi berdaun utuh, kau dengar nama Tuhanmu dikumandangkan, kemudian kau khusuk dalam rukuk dan sujud bergelimang doa. Ah, sungguh beruntung seorang pria yang menemanimu menyusuri jalan bersalju di tengah kota Ankara.
Manis bukan, puan? Karena itu selesaikanlah skripsimu secepat mungkin di semester depan. Lalu lari sekencang-kencangnya menangkap beasiswa S2 ke negeri impianmu. Psikologi, kan? Masihkah itu ilmu yang kau minati untuk program magistermu di negara orang nanti?
Kalau kau ragu, bacalah mantra dalam buku yang kau kenalkan padaku namun aku yang memberikannya kepadamu. Man Jadda Wa Jadda!
Kau wanita tangguh, puan hujan. Malaikat yang jatuh bersama rinai hujan akan mengantarkan doa beserta ragamu sampai ranah eropa. Itu perkara tak ubah mengangkat pena bagi zat yang selalu kau cinta.

Kepadamu wanita penyuka susu coklat dingin.
Aku menulis surat ini bukan karena rindu menjemputku lalu menyampaikannya kepadamu. Bukan pula sesepoi cinta menegurku lalu menuntunku kembali pada rumah perasaan ternyamanku yang dulu. Aku hanya ingin berbincang pada kenangan yang tak sengaja bersua di depan teras rumahku.
Mungkin kau kini sudah memiliki cinta baru. Seorang pria yang memikatmu lebih dari aku. Ah, tentu saja. Aku hanya pria tak punya segala yang teramat beruntung diterbangkan cinta, lalu tak sengaja kau terima dengan hati yang sederhana. Aku hanya pria dulu yang tak layak untuk jadi pendamping hidupmu. Dan kuberharap pada senja yang mencintai barat, berdoa seperti timur yang setia pada fajar. Kelak kau bertemu adam berpribadi tiada cacat, berakhlak tanpa cela, dan hati meniru nabi kita. Sungguh beruntung dia, seorang pria yang menuntunmu dalam sholat, yang kau amini al-fatihah dan doanya.
Tak perlu khawatir aku cemburu, puan. Mungkin aku sepertimu, telah mencintai wanita shalehah impian pria. Dan sekuntum cinta telah lahir dalam taman hatiku yang bermusim semi. Wanita yang aku cintai melebihi aku mencintaimu. Yang akan aku jaga selagi nyawa masih melekat ditubuhku. Wanita yang membuatku merasa seperti nabi. Setia Muhammad kepada Khadijah yang tak pudar karena cemburu Aisyah.


Dari aku dan kenangan kita,
Pria masa lalu yang masih bisa bahagia tanpamu.

(dikirim oleh @rigeladitya di http://www.rigeladitya.co.cc/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar