Rabu, 26 Januari 2011

Sudah Ya. Salam.

Kamu,

Ya, masih kamu. Dan ini surat kedua untuk kamu. Mungkin Mudah-mudahan yang terakhir.

Kamu,

Kurang lebih empat belas jam yang lalu, aku tweet begini:

Jarak terjauh itu aku dan kamu. Saat mata beradu, tetapi sapa tak terjawab.



Aku sedih saat menuliskan kata-kata itu, tapi aku harus mengeluarkannya atau aku akan semakin merasa sakit.

Tidak. Aku tidak membencimu.
Tidak. Ini bukan salahmu.

Ya. Aku memang terluka.
Ya. Ini memang sakit.

Hati yang mendua, atau meniga, atau lebih - itu bukan cinta. Cinta hanya dijadikan kedok dari semua alasan untuk membaginya kepada lebih dari sebuah hati. Dan kebetulan hatiku ada di antaranya. Dan kamu mungkin terlalu bodoh untuk dicintai, sementara aku, dan juga rumah-rumah persinggahanmu yang lainnya itu, terlalu bodoh untuk mencintai seorang kamu.

Bodoh itu ada yang bisa diperbaiki, ada yang tidak. Terutama hati yang bodoh, seperti hatiku. Dan entah ini suatu kebodohan lain atau tidak, justru aku malah bangga dengan kepandiran hatiku. Aku pecinta yang bodoh, dan pecinta yang bodoh tidak mampu membagi cintanya kepada banyak orang. Ah, seandainya ada, aku ingin mencari seorang lelaki yang kesetiannya seperti aku. Sungguh.

Setidaknya, aku setia padamu sampai aku memutuskan untuk pergi. Setidaknya, hanya kamu yang menjadi inspirasiku, alasanku untuk percaya bahwa masa depan itu ada. Setidaknya, aku tidak pernah mengkhianati setiap huruf dan kalimat yang aku tulis demi namamu.

Dan Tuhan tahu itu.

Jadi aku pikir, ini bukan lagi urusanku denganmu - tapi urusanmu dengan Tuhan. Tidak, aku tidak mencari pembelaan dariNya. Aku bukan anak kecil yang berlindung di balik punggung ayahnya. Aku bukan perempuan yang akan terpuruk saat cinta kehilangan manisnya, dan terasa sepanas sekam yang dilempar ke dalam tumpukan kayu arang. Tapi aku adalah anak perempuan kecil milikNya. Dan Dia yang akan membelaku tanpa perlu aku minta.

Kamu,

Anggap saja surat di hari ketiga itu tidak ada, atau walaupun ada, itu adalah surat yang ditulis di bawah kebohonganmu. Anggap saja foto sepasang tangan di foto itu bukan foto tangan kita. Atau pun jika memang itu tangan kita, lalu mengapa aku tidak mengenalinya?

Kamu,

Maafkan jika aku tidak bisa mendoakan kebahagiaanmu. Sayapku belum tumbuh. Aku belum jadi malaikat. Tapi setidaknya, aku berkata jujur tanpa siratan kemunafikan.

Sudah ya. Kamu pergi saja. Berpetualanglah untuk belajar menghargai orang lain. Jangan “menghargai” orang lain dengan berpetualang.

Salam.



---Oleh:


(diambil dari: www.poeticonnie.tumblr.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar