Jumat, 21 Januari 2011

Untuk Kak Rio

Kediri, 21 januari 2010
Teruntuk Kak Rio
Kak Rio, apa kabar? Mudah-mudahan kabar baik ya kak. Semoga kakak selalu diberikan kesehatan. Saya disini juga baik meskipun kakak pasti tahu, kabar saya tak sepenuhnya baik. Iya, saya sakit.
Seharusnya sejak tujuh hari yang lalu saya ingin menuliskan surat ini. Sehari sejak kita bertemu. Hanya saja, saya takut. Saya takut kalau nanti kakak salah paham. Tapi tenang saja kak, ini bukan surat cinta kok. Ah, siapa saya? Berani-beraninya menuliskan surat cinta. Walaupun sebenarnya saya berharap, saat ini saya sedang menulis surat cinta.
Kak Rio, terimakasih. Terimakasih kakak sudah berkenan mengunjungi kami. Terimaksih kakak sudah mau berbagi bersama kami, mendengarkan keluh kesah kami. Kak Rio tahu, kakak telah membuat saya merasa menjadi manusia kembali, karena terus terang saya mungkin juga teman-teman saya disini sudah lama tak diperlakukan selayaknya manusia. Iya, karena kami sakit.
Kak Rio, kakak masih ingat? Kakak pernah bertanya pada saya, “Kamu pernah marah sama Tuhan?” tapi waktu itu saya hanya diam. Saya bingung harus bilang apa. Tapi jujur kak, saya pernah marah. Sangat marah. Saya kecewa. Saya merasa Tuhan tidak adil. Saya merasa Tuhan setengah hati memberikan kehidupan untuk saya. Usia saya baru 12 tahun, kondisi saya tak jauh beda dengan sekarang. Saya sakit. KUSTA. Bahkan untuk menyebutnya saja, saya jijik. Apalagi orang lain. Sampai sekarang, melihat bayangan saya sendiri di cermin, saya bergidik, merinding, bulu kuduk saya berdiri. Apalagi orang lain.
Dulu hampir tiap hari saya berdoa, “ Tuhan kalau hanya untuk hidup seperti ini, lebih baik Kau ambil kembali saja nyawaku. Aku rela.” Kata orang, hidup itu anugrah. Meski sulit, saya berusaha untuk menerimanya. Tapi apalah artinya anugrah, kalau akhirnya menjadi bencana untuk orang lain, untuk keluarga, untuk teman-teman saya. Kehadiran saya membuat mereka tidak nyaman, takut, jijik. Saya ingin mati karenanya.
Bahkan sampai detik ini, saya merasa keberadaan saya di Sumah Sakit Kusta ini, bukan karena biaya yang dibebaskan, bukan karena pemerintah yang menanggungnya, namun semata-mata karena keluarga saya lelah, lelah dengan keberadaan saya di dekat mereka. Tapi tak apa, justru saya lebih merasa nyaman berada di sini. Saya nyaman bersama orang-orang yang memiliki nasib seperti saya. Paling tidak saya tak perlu takut dan khawatir membuat orang lain tidak nyaman karena saya.
Kak Rio, sadar atau tidak kakak telah memberikan saya semangat baru untuk hidup. Kakak menjadi bukti bahwa diluar sana masih ada orang-orang yang peduli. Masih ada orang-orang yang memanusiakan kami. Perhatian seperti itulah yang membuat saya berusaha bertahan hidup. Karena terus terang saya lelah kak. Saya capek, bosan, sepertinya keberadaan saya di rumah sakit ini sia-sia. Hari demi hari, minggu demi minggu, kondisi saya sama saja, tak jauh beda. Rasanya ingin menyerah saja, tapi kemudian saya ingat, masih ada orang-orang yang peduli, orang-orang yang menginginkan kesembuhan saya.
Oh iya, waktu itu kakak pernah bilang kalau nama saya bagus. Reda. Seperti hujan berhenti jatuh ke bumi. Seperti air mata yang tak lagi menetes di pipi. Seperti sakit yang tak lagi menyiksa. Kita tentu tak akan mampu mencegah hujan turun, namun jangan khawatir ada saatnya hujan akan reda. Begitupun saya, tak mampu mencegah sakit ini menyiksa, air mata ini menetes, tapi saya kini yakin, ada saatnya semua akan mereda.
Masih akan ada minggu, bulan, bahkan mungkin tahun untuk pengobatan ini. Saya masih akan lama berada di rumah sakit ini. Tapi saya akan berusaha sabar menunggu saatnya tiba, saat hujan kan reda.
Kak Rio, terimakasih…
Reda

(untuk gadis kecil di Rumah Sakit Kusta Kediri dan malaikat berwujud laki-laki ganteng, Victorio)

(dikirim oleh @yuyaone di http://yuya16.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar