Sabtu, 22 Januari 2011

200 Hari Tanpamu

Mama,
Apakabar? Aku baik mama, papa baik, koko juga baik, keluarga yang lain juga baik. Aku sekarang di rumah, duduk di tempat yang biasa mama duduki, di tempat tidur yang biasa mama tiduri, memakai gelang giok mama, dan memakai beberapa baju mama.

Tadi kami bercerita banyak hal tentang mama, tentang ketegaranmu, tentang kegigihanmu, tentang semangatmu, tentang kebaikanmu,tentang cintamu, tentang hatimu dan semua tentangmu yang kami tahu.

Air mataku berurai ketika satu persatu dari orang di rumah bercerita tentang dirimu. Dan bagian yang paling menyentuhku adalah ketika mereka berkata mama menangis ketika aku meninggalkan rumah di bulan Mei lalu.
Mama berdiri mematung lama di depan pintu melihatku pergi bersama mobil yang dikemudikan koko. Air matamu mengalir deras kala itu, dan itu air mata yang tidak pernah aku tahu, air mata yang selalu mama tutupi dari aku.

Aku bertanya-tanya kenapa aku tidak pernah tahu tentang air mata itu, setidaknya aku bisa memeluk mama erat sebelum aku berangkat hari itu, setidaknya pelukan itu menguatkan kita berdua saat kita berjauhan. Aku mulai mencari dan mengurai semua memoriku bersamamu, kapan aku terakhir sekali memelukmu erat. Kapan? Aku tidak ingat. Tidak satupun memori pelukan kita muncul di kepalaku.

Kemarin, aku melihat temanku memeluk erat mamanya dengan penuh senyum bahagia, sejenak aku teringat padamu mama, aku ingin sekali memelukmu saat itu, sama seperti dia yang tengah memeluk mamanya. Aku ingin memelukmu erat mama, seerat-eratnya. Aku cemburu dan menangis. Aku berlari menjauh mencari sudut untuk menumpahkan air mataku, menumpahkan rasa rinduku padamu. Aku punya dua tangan tapi aku tak dapat memelukmu bahkan menyentuhmu sekarang mama, tidak juga dapat mendengarkan suaramu, dengar tawamu dan melihat senyummu mama.

Hari ini, pagi ini lagi-lagi aku melihat adegan pelukan ibu dan anak di depan mataku. Hari ini sepupuku menikah dan dengan senyum sumringah mamanya mengantarnya memasuki kehidupan barunya. Dengan air mata, mamanya melepasnya untuk bersama pria pilihannya. Dengan derai air mata sukacita mereka berpelukan penuh kasih. Dan aku iri, aku menangis dan aku teringat padamu. Seandainya mama ada di sini, aku pasti bisa memeluk mama juga, kita bisa merasakan sukacita ini bersama. Aku iri karena ketika hari seperti ini datang padaku, mama tidak ada di situ untuk memegang tanganku, memelukku, mengantarku dan menerima penghormatan dariku di hari istimewa itu. Aku iri mama, aku mau mama ada saat itu datang untukku.

Mama, tadi di acara bahagia itu, kami mengenang mama. Satu persatu saudaramu mengenangmu mama, sepupu-sepupuku juga mengenangnya. Kata mereka, jika mama ada saat ini, kita pasti akan mendengarkan kata nasehat nan jenaka, kita pasti akan melihat mama beraksi ke sana ke mari, mama pasti akan berkomentar ini itu, mama pasti menjadi kepala genk, mama pasti...... kami bahkan tidak sanggup meneruskan kata-kata kami karena mengenangmu pun membuat mata kami basah.

Mama, aku kangen sekali. Aku ingin memelukmu dan meletakkan kepalaku di pangkuanmu, meredakan lelahku dan mengatakan padamu bahwa aku mencintaimu mama. Tapi semuanya itu sudah tidak bisa kulakukan lagi karena mama telah pergi meninggalkanku selamanya.

Mama, hari ini adalah hari ke 200 mama meninggalkan aku, dan mataku selalu basah ketika mengingatmu mama. Sampai hari ke 200 ini aku masih ingin memelukmu.

Mama, aku kangen padamu. Mengingatmu selalu membuat mataku basah dan hatiku hangat.



(diambil dari: www.tangtingtangtintung.blogspot.com )




Tidak ada komentar:

Posting Komentar