Kamis, 20 Januari 2011

Aku Ingin Jadi Manusia Pelupa

Mungkin Tuhan masih ingin mengingatkan aku, bagaimana rasanya tidak mendapatkan sesuatu yang kuinginkan. Selama dua puluh empat tahun hidup, aku terbiasa mendapatkan apa pun yang kuinginkan. Lalu kamu. Kamu datang, merusak tatanan hidupku.


Entah kapan terakhir patah hati begini. Aku pun tak yakin apa memang ini yang disebut patah hati, atau ini hanya masalah ego yang terluka ketika tidak dilayani.


Aku ingin memiliki kamu. Sebegitu besar keinginanku. Dan sebegitu pula sulitnya memiliki kamu, meski sebenarnya aku, kamu, punya perasaaan yang serupa. Karena ternyata cinta dan logika ternyata bukan teman sepermainan yang akur. Aku sangat sadar, mempertahankan ini semua hanya menegaskan egoku yang setinggi gunung dan sekeras batu. Tidaklah adil untukku, kamu, dia, dan dia, jika kita bersikeras bersatu. Bahkan mungkin Tuhanmu dan Tuhanku pun tak setuju. (Ah, tidak! Tuhan kita sama, tapi kita mencintaiNya dengan cara yang berbeda)


Aku pun jadi menyesali, kenapa tidak terlahir jadi manusia yang cepat lupa. Aku ingin cepat lupa semuanya. Semuanya. Tatapan kamu. Puluhan misscall, sms, message di inbox Facebook-ku, percakapan telepon yang konyol dari mejamu ke mejaku. Malam-malam panjang dengan percakapan setengah sadar. Tawamu, suaramu di ujung telepon. Ciuman pertama kita di Kaliurang malam itu. Jalanan Jogja yang basah oleh hujan esok harinya. Getar tanganmu, yang dalam diam menggenggam tanganku di bawah meja. Kecupan manis di keningku, yang kaucuri pada suatu pagi di kantin kantor. Tanganmu yang menggenggam erat rambutku setiap kali kamu menciumku. Muka bangun tidurmu saat mengantarku pergi di Stasiun Tugu. Bunga mawar putih yang kamu bawa dalam tas plastik hitam. Dan sekarang, ketika aku tak bisa memilikimu, aku ingin lupa. Aku ingin jadi manusia yang cepat lupa. Seperti kamu.


Malam ini, ketika aku bergulat melawan kenangan tentangmu, aku pun harus tersiksa membayangkan dia bersamamu. Padahal nanti ketika aku bersamanya, berjuang mengembalikan perasaanku kepadanya, kamu mungkin sudah lupa. Lupa semua debar yang selama enam puluh hari pernah kita pelihara.


Mungkin kamu nggak tahu. Mungkin seharusnya kamu nggak perlu tahu. Tapi, aku ingin kamu tahu. Aku hancur berantakan. Aku seperti vas bunga yang tak sengaja kamu senggol, jatuh, pecah, serpihannya tercerai berai entah ke mana. Lalu ketika dicoba direkatkan kembali, bentuknya tak lagi utuh, bagiannya tak lagi lengkap, tak seindah sebelumnya.


Tidak ada yang bisa dipersalahkan selain diriku sendiri. Mungkin, di tengah malam itu, dalam perdebatan kita yang emosional, aku seharusnya mengiyakan ajakanmu. Untuk melupakan logika, menghabiskan sisa hidup kita bersama. Tapi apa aku mau? Menjadi keputusan hidup yang kau buat tanpa akal sehat?


Iya, aku tahu, sudah berlalu semuanya. Sudah terlewati momennya. Janganlah mengkhawatirkanku, karena aku akan baik-baik saja. Belum, tapi akan. Sekarang, biarkan aku belajar menirumu, untuk jadi manusia pelupa.


(dikirim oleh @kaeshanata di http://suduthati.tumblr.com/post/2840462926/aku-ingin-jadi-manusia-pelupa)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar