Sabtu, 22 Januari 2011

Hari Kesembilan

Lily,

Sudah surat ke-9 saja. Waahhh.. Bila dalam sehari tercipta satu surat untukmu dan setiap hari aku menulisnya, mungkin saja suatu hari hidupku menjadi buku dan itu satu persembahanku padamu. Hehehe.. Karena candu menulis surat ini membuat jariku geletar mengejar abjad yang berlari-lari di kepalaku, yang di sana engkau bergetar hebat sekali. Itulah mengapa menulis surat adalah satu bagian hidupku yang paling indah. Masa-masa seperti ini akan kukenang sambil tersenyum mendekap engkau. Sungguh.

Ngomong-ngomong, apa kabarmu di hari ini? Masihkah kamu tergendala oleh rasa takutmu akan lemak? Hahahaha, maaf. Kudengar dari Dion, kau agak sedikit gemuk. Hmm, kenapa? Kau jago makan rupanya. Apa merinduku membuatmu senang mengunyah-ngunyah? Hehehehe.. Tetapi itulah pentingnya ada keringat. Bila ada lemak yang terbakar, semoga itu semangatmu yang berkobar-kobar. Cayooooo! :P Tetapi jangan sampai karena itu kamu menjadi stress, ya.. Selalu ada sisi yang baik untuk orang melihat kecantikanmu. Percayalah kata-kataku ini! Lagi pula, cantikmu itu sangat alami. Di balik kepolosanmu itu, melimpah banyak bunga berseri. Tetapi kau juga harus dewasa. Kau harus mampu menghitung harimu dengan kebajikan, tidak terus merengek seperti Lily yang masih kecil. Tenang, menjadi Lily yang dewasa takkan mengurang rasa sayang orang-orang yang menyayangimu. :)

Lily, hari ini berjalan seperti biasa. Tidak banyak yang bisa dilakukan dalam penjara. Kau tahu itu. Maka selain bermain catur dan menulis surat untukmu, aku masih sulit mencari aktivitas lain yang menarik. Melakukan sesuatu di sini tidak mendapat gaji. Kebaikan yang terlaksana hanyalah modal untukku sanggup keluar di alam bebas, nanti. Tetapi apa ya yang nikmat dilakukan, ya? Napi-napi yang lain, mereka push up, sit up setiap hari. Penjara bagaikan tempat fitness. Setiap sore, masing-masing grup merajai lapangan yang ada. Olahraga adalah satu hal penting yang bisa dilakukan daripada melamun. Itu menurutku.

Untung saja, papan catur banyak tersedia di sini. Jadi para napi, termasuk aku, tidak harus berebutan membunuh waktu. Tetapi keahlianku bermain catur belum disegani. Andai sudah, pasti sudah banyak yang mengenaliku di sini. Contoh Bang Tagor, dia adalah napi yang disegani hanya karena jago bermain catur. Lucu sekali ya? :D

Yang ingin aku ceritakan juga adalah Iwan. Mungkin kau sedang menebak-nebak kira-kira apalagi ulahnya. Hmmm.. Pokoknya jangan tertawa sampai suratku ini robek, ya! Jadi begini,

Ketika semua napi beranjak untuk sarapan, aku dan Iwan mengantri berdempetan. Iwan berbaris di belakangku sambil berkicau-kicau.

“Wuuuuaaahhh… Sarapan pagi ini adalah ayam goreng. Tumben! Ayo-ayo, yang dipenjara gara-gara maling ayam, dia nggak boleh makan!”

Begitu katanya. Kurang ajar, bukan?

Rasa-rasanya aku ingin menyumpal mulutnya dengan sendok agar ia keselek dan tidak berkoar lagi. Coba kau pikir kalau di sana ada benar maling ayam, lalu tersinggung! Pasti ia akan berkelahi lagi. Itu pasti. Untung saja, celotehnya tidak begitu di dengar karena kalau soal makan, napi di sini langsung mendadak acuh. Yang penting kebagian, yang penting ngunyah. Hahahaha…

Sepagian aku tertawa-tawa sendiri mengingat hal itu, apa yang dikatakan Iwan itu. Aku pikir-pikir memang benar, sehari tanpa terhibur itu terasa bagaikan sehari hidup sendiri di padang gurun. Kering, panas, sepi dan “aduh” pokoknya. :P Inilah enaknya ada Iwan dipenjara. Selalu ada saja lawakannya.

“Maling motor makan ayam. Wuiiih.. Enak… Dan Igo, bisa makan ayam walaupun nabrak orang sampai mati. Wuiiih.. Enaaak.”

Serunya lagi sambil nasi masih penuh dalam mulutnya. Konyol sekali. Hahahaha..

Cerita tentang Iwan ini sengaja aku tulis dan kucurahkan juga padamu. Ini hal yang lucu menurutku. Karena jika tawa adalah tanda suara hatimu yang riang, izinkan aku melawak setiap hari! Untukmu. Melihatmu tertawa lepas, bebanku juga terlepas.Tertawalah, Sayang! Tertawalah! :)

Lily sayang, suratku ini kutulis di waktu langit sudah gelap namun Tuhan meletakkan banyak bintang untukku. Nah, kertasku masih banyak lho.. Tetapi bila dalam sehari aku menulis surat, kertas-kertas ini masih kurang untuk dibanding sisa berapa hari lagi aku di sini. Meski takkan ku puas menyuratimu, tetapi sedih juga di penjara terus. :(

Di sini aku memikirkan apa kau sedang merindukanku? Seiring angin malam lewat, aku membayangkannya. Oh Kasih, betapa aku ingin terhempas badai saat tangis yang melukis remuk rindumu itu datang bersama angin. Aku ingin alam kerinduanmu menjemput aku. Aku ingin terbawa melayang-layang dan dengan penuh kelembutan, mendesir pasir cintamu. Aku Ingin sekali!

Aku jadi gelisah di antara tumpukan keluh dan kesah. Betapa aku tergendala oleh ini dan itu di kala rindu. Keresahanku terpantul-pantul ke dinding ruang, yang di dalam sini aku jauh dari senyummu. Aku seperti ditumbuk bulan dengan sinarnya yang menerjang. Merindumu di bawah malam selalu saja begitu hebat, tetapi kadang terasa sakit bila aku menghitung sisa malamku di sini. Masih lama sekali aku bisa menjumpaimu. Bagaimana aku bisa berkata sebentar lagi? Oh, Sayang.. Datanglah ke sini, hadirilah malamku yang sunyi ini! Erggh… Ingin rasanya keluar dari penjara ini dan menikmati genggamanmu yang tak lepas itu, sambil berbaring di pinggir pantai. Sungguh!

Berlebihan ya pengungkapanku? Maaf, Sayang. Bila rentak kataku tidak sesuai dengan yang telingamu idamkan, izinkan aku mematung saja dalam matamu! Apapun asal kau tetap merindu.

Malam semakin larut, waktunya aku terlelap. Ada satu pepatah di surat ini, izinkan aku menutupnya dengan indah!

Bila suatu hari adalah aku yang sudah kakek-kakek, aku akan berkata padamu sambil memeluk, “Cinta sejati adalah rasa yang tetap ada untukmu, sekalipun nafsuku punah.”

Seseorang yang ingin mencintaimu sampai tua,

Igo.

(dikirim oleh @zarryhendrik di www.zarryhendrik.tumblr.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar