Minggu, 16 Januari 2011

Hari Pertama

Halo Lily,

Dari sahabatku tercinta, Dion, kutitipkan suratku ini. Apa aku mengagetkanmu? Jika ya, pasti tidak terlalu. Mungkin alis mata kananmu hanya terangkat lalu muncul kerut pada keningmu. “Apa-apaan Si Igo ini, di zaman ini menulis surat!” Mungkin begitu. Hehehe..

Ah, sebagai Igo yang aneh sekaligus kekasihmu yang menyebalkan, aku memohon, kiranya kamu mau mengerti atau setidaknya memaklumi, bahwa aku ingin menyenangkanmu. Itu saja. Bukankah itu yang harus dilakukan seorang lelaki? Mengerahkan segala kemampuannya demi wanita? Maka ini satu yang aku bisa. Menulis surat.

Aku tahu, belum cukup semangatmu untuk jadi pembaca setia suratku ini. Kau suka belanja, menonton film dan duduk berjam-jam di kursi salon. Itu menyulitkanku untuk membuatmu tengkurap di tempat tidur lalu membaca surat cintaku sampai mata berkaca-kaca. Dengar Lily, ini tantanganku. Relakan waktu luangmu untuk sesuatu yang kau anggap membosankan ini, sebentar saja!

Maka simaklah baik-baik, bukan dengan sembarangan aku mengatur barisan abjadku ini. Ini penjiwaanku, aku ingin menjiwaimu. Ini cintaku, karena aku mencintaimu. Semoga kau patuh kepada makna yang aku tanam di tiap kata, semoga kau terbang oleh sayap yang ada di punggung-punggung kalimat. Aku harap bisa begitu.

Sebelum surat ini benar-benar surat, izinkan aku memulainya dengan puisi. Tidak banyak. Hanya empat baris dan kau bisa membacanya dalam 5 detik. Begini,

Ini malam yang dingin.

Aku terancam beku.

Kuraba lagi api kenangan.

Canda tawa yang hangat.

Apa kau tahu maksudnya? Kemungkinan besar, belum. Ini puisi yang sedikit namun kau bisa merenungkannya berjam-jam. Ayo, tenggelamkan jiwamu ke dalamnya! Ada lautan arti di balik tiap barisnya, pastikan saja dirimu hanyut! Pikirkan aku, rasakan aku!

Baiklah, aku seakan mulai mengaturmu, seakan aku sedang memaksakanmu untuk cinta pada tulisan. Maafkan aku! Aku hanya terlalu bersemangat. :(

Lily yang baik dan lagi penuh kasih sayang, aku berterima kasih atas kasih yang kau berikan sebagai kekasih. Kaulah satu terkasih yang mengasihiku sepenuh kasih. Sebagai kekasihmu, ini satu bentuk di dalam kasih. Surat cinta.

Apa aku terlalu klasik? Tidak juga. Aku hanya terlalu mencintaimu dan ini benar. Ada berjuta tangan dalam hatiku, semua tangan itu mengepal, memegang erat kenangan kita. Aku tidak ingin kau pergi dari hatiku dan ini caraku takut kehilanganmu, dengan menuangkannya ke atas kertas.

Sejujurnya dari kata per kata yang aku usung, aku tampak tergesa-gesa. Panik, tidak berdaya saat jauh darimu. Aku takut kehilanganmu. Itu.

Telah lama kita bersama seiring bumi terus berputar dan waktu terus berjalan. Aku bersyukur kepada Tuhan bahwa sampai kini kau masih menantikanku. Dulu kita sering bertemu, berjumpa di dalam kerinduan. Kita saling tertawa dan menjahili, kadang kau marah lalu aku redakan. Namun sekarang saat yang berat. Aku ada dalam penjara dan ini bukan salahmu. Aku begitu dungu! Aku menyesal dan tiap hari sangat menyiksa. Di dalam sini aku kesepian. Sepanjang hari kurasa sunyi, sendiri dan tidak enak, namun aku merindukanmu. Rindu yang besar, menggumpal sampai seringkali aku menangis. Kiri kananku adalah tembok. Aku menginjak lantai yang kotor dan di depanku teralis besi. Kamarku digembok dan hanya satu teman yang benar-benar teman di sini. Namanya Iwan. Nanti dari surat selanjutnya, akan kuceritakan tentang Si Iwan itu. :)

Lily, aku juga tidak suka makanan di sini. Rasanya hambar dan kadang jorok. Apalagi nyamuknya! Aduh, kadang aku baru bisa tidur di pagi hari. Serangga menyebalkan itu serasa berkumpul di kulitku. Proses tidurku jadi tak nyaman. Ditambah lagi, para penjaga penjara di sini kadang-kadang licik, sama halnya dengan napi yang aku benci. Semua membuatku kesal. Namun jauh dari itu semua, aku merasakanmu ada di sekitarku, di dalam bayang-bayangku, di tengah penderitaanku. Maka apakah salah aku menulis surat? Aku memohon belas kasihmu, ini saja yang aku bisa. Mungkin ini bukan persembahan yang mewah untuk waktumu yang berharga, tetapi aku tahu, kau tetap mencintaiku. Itu tidak ternilai bagiku. Sungguh.

Di penjara aku jadi sering merenung. Ini lebih baik dari melamun. Masih terlintas dalam benakku tentang kejadian itu, kecerobohanku yang merenggut nyawa orang tidak berdosa. Benar, mengemudikan kendaraan dalam keadaan mabuk adalah hal terbodoh yang pernah aku lakukan. Aku tersiksa membayangkan sepasang suami istri yang aku tabrak dan bersama motornya, mereka mati di bawah mobilku. Apa mau dikata, aku hanyalah secuil di bawah hukum. Tetapi aku memang salah. Aku pantas menerimanya. Sayang sekali, aku tak punya banyak uang untuk mengurang hariku di penjara ini. Lagi pula apa itu tindakan benar, membeli hukum dengan uang? Tidak. Maka biarlah begini, kulewati hari-hariku ini di sini. Aku harus menerima kenyataan, khan? Itu yang selalu kuingat dari perkataanmu, bahwa ini kenyataan, engkau mencintaiku dan aku harus menerimanya.

Tetapi Lily tersayang, aku berpikir tentang usiamu. Sampai kapan kau menungguku? Kau pasti tertekan. Ayah ibumu, mereka pasti mendorongmu untuk segera memilih calon suami. Apakah mereka mengharapkanku? Aku tidak yakin. Aku dipenjara, Li. Dipenjara! Banyak mata menjadi mudah memandang hina. Sebenarnya sangat menyedihkan menjadi aku.

Kini sisa 1 tahun 1 bulan 25 hari lagi, aku akan segera keluar dari sini. Kalau tidak salah, itu jutaan detik. Puluhan juta! Sementara 1 detik di sini adalah penyesalan. Dari sudut mana aku bisa melihat indahnya penyesalan? Waktu yang lama. Aku khawatir tentangmu di sana. Banyak hal yang aku khawatirkan. Banyak sekali. Tetapi aku berterima kasih kepada Tuhan, kau masih mencintaiku.

Lily, saat Dion menjengukku ke sini, ia menceritakan banyak hal tentangmu. Ia cerita tentang rambutmu, kulitmu, kuliahmu dan lain-lain. Tetapi aku bersedih. Mengapa Dion bisa bilang bahwa wajahmu tampak muram? Ayo tersenyum! Senyum adalah jarak terdekat antara kau dan aku! Aku pun senang bahwa ia bilang, kau tetap setia. Kekasih yang hebat. Sebenarnya aku tak pantas mendapatkanmu, aku hanya pantas men-syukurinya.

Terima kasih atas salam dan cium sayang yang kau titipkan pada Dion untukku. Aku mengerti kau tidak bisa ke sini. Sangat mengerti. Anak gadis satu-satunya yang diharap punya suami yang baik (bukan narapidana) adalah layak diawasi. Wajar menurutku. :) Beruntung masih ada Dion, jembatan kita saling mengirim rindu.

Lily, aku harap aku tidak menulis sendiri. Tolong sempatkan diri membalas suratku, ya! Suratmu akan menjadi teman yang baik di sini. Serius!

Baiklah, begini saja dulu suratku. Di jeda aku menyusun kata demi kata yang melukiskanmu bagi hidupku ini, kepalaku serasa runtuh. Itu kepala yang keras. Nanti akan ada banyak cerita di surat berikutnya. Aku harap Dion bisa menengokku tepat waktu, jadi bisa membawa suratku yang berikutnya. Karena aku ingin terus menulis tentang dirimu, sampai suatu hari engkau melihat, hidupku menjadi buku. Semoga hari tidak merenggut engkau, semoga detik tetap memihak aku. Bila suatu hari waktu berhenti, biarlah kita boleh bergerak.

Jaga kesehatanmu, Li!

Kekasihmu yang dungu,

Igo.

----

(dikirim oleh @zarryhendrik di http://zarryhendrik.tumblr.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar