Jumat, 14 Januari 2011

I Miss You, Grandpa

Dear Opung, 57 hari sudah.


57 hari sudah kami lewati tanpa kehadiranmu.
Dalam 57 hari terakhir, ada banyak sekali yang terjadi.


Di antara 57 hari ini, ada Natal pertamaku bersama keluarga setelah 4 tahun tidak pulang…
Sekaligus Natal pertama dalam hidupku tanpamu.


Entah apa aku harus bahagia atau sedih merindu.


Opung, ingat tidak, dulu kau selalu berjanji akan datang di hari wisudaku.
Dulu setiap kita bicara di telepon, kubilang “Opung jaga kesehatan, biar nanti bisa ke Jakarta wisuda vivi”.
Dan kau jawab, “Iya, nang. Opung datang nanti…”
Maaf Pung, aku gagal.
Aku tak bisa wisuda di waktu yang kurencanakan.
Seandainya aku bisa cepat menyelesaikan studiku, mungkin masih bisa kau lihat aku memakai Toga kebanggaanku.
Maaf Pung…
Maaf…


Malam itu, saat kulihat kau terbaring lemah dengan bantuan alat pernafasan, aku hancur.
Ada banyak hal yang ingin kukatakan malam itu. Tapi aku malah diam, hanya mampu menggenggam tanganmu dan mengelus pelan kepalamu.
Aku… Benci perpisahan.
Benci sekali.


Opung, bagaimana kabarmu di sana? Betah tidak?
Tuhan memperlakukanmu dengan baik kan?
Makan enak tidak?
Jangan makan yang pedas dan bersantan, Pung, ingat maagmu. Eh, tapi di Surga tidak ada penyakit ya?
Baguslah…


Tapi di Surga juga tidak ada kue buatanku, Pung…
Yang dulu selalu kau puji.
Tidak rindukah mencicipinya lagi?
Ah, pasti kue-kue buatan Surga jauh lebih enak ya?
Baguslah, Pung.


Aku rindu. Rindu sekali.
Aku rindu suara beratmu itu. Aku rindu wibawa yang terpancar dari wajahmu. Aku rindu nasehat-nasehatmu. Aku rindu suaramu. Sangat rindu.


Kau tahu, Pung?
Hans kemaren usil menirukan suaramu. Ketika aku sedang memasak di dapur, terdengar suara berat khasmu memanggil…
“Twelvi…”
Aku menoleh cepat. Kaget dan rindu.
Ternyata dia. Ah… Dia tahu kakaknya ini rindu sekali suaramu.


Opung…
Aku rindu sekali.
Biarpun dulu kita tidak sering saling bicara, karena kau tak suka bicara, tapi semua pesanmu kuingat baik-baik.
Aku sangat kagum padamu, Pung.
Di lemarimu banyak sekali buku-buku yang membuatku haus ilmu.
“Apa dan Mengapa”. Kumpulan seri pengetahuan. Ah, aku bahkan ingat aroma kertasnya sampai sekarang.


Ingat tidak, waktu aku kecil, kau sering mencabut gigiku dengan benang.
Kau bilang hanya lihat, lalu saat aku lengah, kau cabut dengan kuat.
Ah…


2 tahun lebih kita tidak bertemu ya, Pung. Kenapa tidak bilang kau mau pergi?
Tahu begitu aku pulang lebih dulu.
Kau pasti tahu kan? Pasti tahu.
Orang sepertimu pasti selalu ditemani malaikat kemana-mana.
Kenapa tidak beritahu aku?
Curang…


Ingat pintu lemari yang rusak di ruang tamu?
Terakhir katanya kau sedang sibuk mengukir kayu jati, meniru pintu lemari itu.
Kau, lelaki terhebat yang pernah kukenal. Banyak akal.
Tapi, belum selesai, Pung.
Ukirannya baru separuh.
Itu pekerjaanmu yang belum selesai, Pung….


Aku rindu, Pung.
Aku ingin kelak ayah dari anak-anakku memiliki wibawamu.
Susah ya tampaknya?
Langka.
Dapat yang setia saja sudah untung.


Opung.


Aku…


Rindu.



(diposting di http://twelvifebrina.wordpress.com/)

3 komentar: