Sabtu, 15 Januari 2011

Malaikat Berbulu Emasku


Dear Angel,
Aku tak akan bertanya “apa kabar?” karena aku memang benar-benar tidak tahu kau ada di mana sekarang.
Aku bahkan tidak tahu kau masih hidup atau justru sudah ada di Surga sejak lama.
Mungkin hampir 6 tahun berlalu sejak terakhir kali kau menciumku dengan hidungmu yang selalu basah dan dingin itu.
Aku bahkan masih ingat pertemuan pertama kita.
Aku baru pulang sekolah saat itu, masih memakai seragam putih-abu. Kumal dan bau matahari.
Saat masuk ke dalam rumah, kau sedang meringkuk di sudut ruang tamu. Persis di samping sofa biru kesayangan Mama.
Kecil, bulat, berbulu emas sangat banyak.
Lalu mata kita saling beradu, dan setelah beberapa detik itu, aku tahu aku jatuh hati padamu.
Aku mendekatimu perlahan. Kau tampak malu-malu.
“Tadi baru dibeli Papa dari temennya…”, kata adikku.
Aku maju. “Angel. Kita panggil dia Angel. Namamu Angel ya mulai sekarang”, ucapku sambil mengusap lembut kepalamu.
Lalu tiba-tiba kau lari menuju pintu. Terlihat panik, lalu mencakar-cakar celah di bawah pintu.
Aku panik. Kupikir kau mau pergi meninggalkanku. Kubiarkan kau terus begitu sambil memanggil-manggilmu mesra. Berharap kau juga jatuh cinta padaku.
Beberapa menit kemudian, lantai di sekitarmu basah.
Astaga, kau rupanya ingin pipis. Mana aku tahu, aku pikir kau mau meninggalkanku.
Aku tertawa. Kau menatap mataku lagi.
Dan aku… semakin jatuh hati.
Sejak pertemuan pertama kita yang basah itu, setiap hari kulewati bersamamu.
Kau memang bukan sahabat berbulu pertamaku, tapi kau yang paling kuingat.
Aku mulai terbiasa dengan kaki-kaki depanmu yang lincah melompat ke pahaku setiap kali aku pulang dari sekolah.
Aku mulai terbiasa dengan hangat dadamu juga naik-turun perut gendutmu saat kau tertidur pulas di atas pangkuanku.
Aku mulai terbiasa dengan lidah merah mudamu yang kasar itu, yang suka sekali menjilati betisku.
Aku terbiasa peduli padamu. Dari pagi sampai pagi lagi.
Angel, ingat tidak, dulu kau suka sekali mengikutiku ke warung, lalu menggonggong manja meminta dibelikan keripik singkong pedas kesukaanmu.
Dulu memang cuma limaratus rupiah perbungkusnya, tapi semakin hari kau semakin besar, dan satu bungkus tak cukup lagi untukmu.
Dua bungkus, tiga bungkus, empat bungkus…
“Angel! Uang jajanku bisa habis!” pekikku sambil tertawa melihat tingkahmu kala itu.
Setelah itu lalu kau diam. Berlari ke depan warung dan menungguku untuk berjalan pulang bersama.
Aku masih ingat sekali.
Angel, ingat tidak, suatu sore kita hanya berdua di rumah dan aku yang sedang belajar tertidur di meja. Kau menggonggong panik tanpa henti. Memekik tak biasa. Aku terbangun lalu bergegas mengikutimu yang berlari kencang menuju dapur.
Ular!
Astaga, ada ular di pekarangan kita!
Lalu aku berlari meminta bantuan Kakek tetangga sebelah. Ular itu kemudian ditangkapnya lalu dibawa entah kemana.
Kalau saat itu kau tidak memberitahuku, Angel, mungkin ular itu bisa menyusup masuk ke rumah lalu menggigitku saat tidur.
Dan saat itu aku lupa mengucapkan ini… Terimakasih.
Terimakasih.
Mungkin hampir setahun kita melewati hari bersama.
Aku bahkan masih ingat sabun kesukaanmu. Aroma apel hijau. Ya, apel hijau. Kau selalu manis dan menggemaskan setiap habis kumandikan. Seperti sebutir apel hijau.
Aku masih ingat, kan?
Aku juga ingat, kau suka sekali meninggalkan rumah tanpa permisi setelah makan siang.
Setelah dicari kesana-kemari, ternyata kau sedang makan lagi di rumah Opung. Pantas saja perutmu gendut, Angel.
Bukan hanya aku, seluruh keluargaku rupanya jatuh hati padamu.
Aku sudah sangat terbiasa dengan semua tingkah lakumu.
Aku sudah sangat terbiasa mengasihimu.
Sampai suatu malam semua kebiasaan itu direnggut paksa dariku.
Aku masih ingat,
malam itu malam Natal.
Seluruh keluarga sedang menghadiri pesta Natal yang diadakan warga kompleks.
Kau, entah kenapa, malam itu menolak diajak. Malah memilih menyendiri di rumah.
Karena hanya berjarak dua blok, tak ada yang merasa aneh karena harus meninggalkanmu.
Tidak juga aku.
Sebelum pergi, kau mengusapkan tubuhmu di kaki-kakiku. Meloncat ke pahaku, lalu diam di situ. Memandangi wajahku, lama sekali. Aku ingat mengusap kedua pipimu lalu meniup matamu mesra.
Mana aku tahu, itu akan jadi kali terakhir aku menyentuh hangat bulumu.
Aku tak tahu, itu akan jadi yang terakhir untuk kita.
Sepulang dari pesta, kau tak bisa kami temukan di mana-mana.
Kucari kau ke rumah Opung. Mungkin kau lapar, pikirku.
Aku ingat waktu itu Paman yang membuka pintu.
Tapi kau tak ada di mana-mana. Aku mulai resah. Seisi rumah tidak bisa nyenyak.
Gerbang bahkan sengaja dibuka.
Pagi tiba, kau masih belum ada.
Seorang tetangga mengabarkan sempat melihat seorang laki-laki menggendongmu pergi dalam keadaan tidur.
Hatiku benar-benar hancur.
Ini mustahil, kau pasti akan pulang.
Kuyakinkan diriku sendiri.
Segala cara telah dicoba untuk menemukanmu. Bahkan Papa sudah mengabari pada warga kompleks sebelah yang bahkan mungkin tidak dikenalnya.
Tapi kabar tentangmu tetap tidak ada.
Sehari.
Dua hari.
Seminggu.
Dua bulan.
Setahun.
dan malam ini, hampir enam tahun.
Aku tak pernah melihatmu lagi.
Dan setelah hampir enam tahun,  aku masih ingat semuanya.
Dengan sangat jelas.
Dan dalam enam tahun, tak pernah ada lagi suara gonggong yang menghiasi rumah keluarga kami.
Kau yang terakhir.
Dear Angel,
di manapun kau berada malam ini,
jika kau masih hidup dan sudah menemukan pemilik baru,
semoga kau bahagia.
Tapi jika kau sudah ada di Surga,
cari dan temukan Opung, lalu temani beliau di sana.
Aku…berterimakasih pada Tuhan telah mengijinkanku bertemu denganmu.
Malaikat berbulu emas-ku.
:’)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar