Jumat, 21 Januari 2011

Surat Kepada Sebuah Rasa

Dear rasa dicintai,

Aku tidak rindu rasa strawberry, coklat, vanilla, keju, mangga, jambu, atau rasa apa pun. Kecuali rasa kamu dan rasa dirindukan. Sesuatu yang tidak bisa aku beli di mana pun juga, baik eceran maupun grosiran.

Kapan terakhir aku mencicipimu? Tiga minggu yang lalu? Empat bulan yang lalu? Atau mungkin beberapa jam sebelum Ibuku pulang ke Rumah Bapa, ketika dia masih dapat berkata-kata kepadaku dengan sisa-sisa nafasnya?

Dear rasa dicintai,

Aku menulis surat ini sambil menangis. Aku sangat sedih dan putus asa. Bahkan mungkin saat ini aku tidak lagi bisa memberikan rasa itu kepada diriku sendiri. Rasa dicintai. Pahit. Terlalu pahit kenyataan yang ada di depanku. Aku sungguh terpuruk, dan tidak bisa memberikan rasa lain kepada diriku sendiri kecuali rasa dibenci.

Dear rasa dicintai,

Jika semua manusia berhak untuk bahagia, maka saat ini aku sedang kehilangan hakku itu. Kemana aku harus menuntut kembali hakku itu? Kepada siapa? Sedangkan banyak telinga yang terbuka, namun tidak mau mendengar baik jeritanku, tangisanku, bahkan bisikanmu?

Kakiku lelah. Tapi jiwaku lebih lagi.

Dear rasa dicintai,

Pulanglah. Tidakkah kamu rindu akan rasa mencintai yang selalu aku berikan kepadamu dengan ikhlas? Atau mungkin kamu muak dengan rasa mencintaiku? Terlalu banyak dan terlalu murahkah? Muntahkanlah semuanya jika kamu mau. Sini, aku pinjamkan jariku yang penuh luka untuk mengorek kerongkonganmu jika kamu tidak sanggup untuk memuntahkannya. Ini baskomnya. Ini handuknya. Kamu tinggal membuangnya, lalu kita mulai lagi semuanya dari awal.

Rasa dicintai yang sedang entah di mana dan mengapa,

Aku hancur. Tolong kembali. Aku memohon padamu sampai lututku memar dan tulang lututku mengintip tanpa malu.

Cintai aku. Itu saja. Jika kamu tidak sanggup, ini belatinya. Bunuh saja aku. Sekarang juga.

Tunggu apa lagi?



---Oleh:



(diambil dari: www.poeticonnie.tumblr.com )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar