Jumat, 14 Januari 2011

Tentangmu, Hujan Pukul Lima di Taman Sari

Voila,
Bangun dear...! Iya. Kamu. Udah deh, jangan malas ah... Yuk bangun yuk! Lekas tengadahkan pagi. Kamu harus rasa. Lembut bibir semesta. Sapaan dawai rumput. Coba hirup dingin sejuknya semilir udara yang mungkin kau sudah lupa, kapan terakhir kali paru-parumu menerima zat serupa? Bangkit, lalu basuhlah jejak dosa semalam dengan air suci dikamar mandi kecil dan bau itu! Hahaha. Skip!
Sorry... Aku terpaksa membangunkanmu. Karena kamu musti bersiap ambil posisi menata lembar-lembar masa lima tahun lagi, duapuluh tahun lagi, seratus tahun lagi, dan bahkan seribu tahun lagi. Mulai sekarang. Detik keduabelas ini. Aku mau mengajakmu menjelajah doa. Dari hamparan sajadah yang lama tak menyentuh dahimu. Aku rindu. Mereka rindu. Tuhanpun.
Hey... you don’t know yet about me right? Okey, perkenalkan. Aku perempuan biasa yang tak henti menjadikan segala rupa mimpi terwujud. Dan aku, ingin mengunyah semangat menggebu ini bersamanya, ditengah timpa tragedi luka. Hmm..., anggap saja aku misteri. Tetapi nanti saja ya, disurat entah keberapa akan kujelaskan.
This is it, hari kedua halaman #30HariMenulisSuratCinta. Masih menghirup inspirasi lelaki yang sama. But, imajinasi bukan sebuah harga mati. Esok hari bisa saja bukan tentangmu.
Mengenangmu, kala pertemuan pertama. Rasanya sudah tercetak kemarin. Yupp! Sejak titik itu, kamu jadi rajin mengunjungiku. Semacam terpola, tanpa narasi. Tak sekedar basa-basi. Mengajakku berkelana di rimba jalanan. Entah makan, entah menonton, entah menjemput, seribu alasan pergi selalu ada. Jauh dari kata “monoton”.
Tetapi ingatanku kembali pada sore dimana kisah kencan pertama. Menelusuri liku tapak Taman Sari Yogyakarta. Wisata sederhana sejuta jaman. Disudut bukit, lembaran file hasil print kamu berikan padaku. Kubaca sekilas. Aneh. Kenapa isinya artikel ciuman sih? Perlu kamu tahu, sampai sekarangpun berkas itu tak pernah sepenuhnya aku baca. Maaf.
Dan disana. Hujan kedua selain dimasjid singgahan malam day #2, mengalir. Rintik gerimis di tebing bekas reruntuhan benteng Taman Sari. Pada hujan pukul lima kita, aku jatuh cinta. Pada lentik bulu matamu. Pada liar angkuhmu. Rasanya, disetiap membuka dunia, aku ingin tetap melihatmu didepanku. Bisa diraba logika, hari-hari selanjutnya kita sibuk mengekspresikan cinta.
Lelaki... Hampir empat tahun nyata mata itu ada. Kuingat lagi bau tubuhmu yang sudah ku lupa. Toh, sekarang buat apa. Sudah cukup pembuktian bahwa kau bukan “pangeran” dalam mimpiku. Bukan calon imam yang baik untuk anak-anakku kelak. Aku tak mau mereka menjadi refleksi alter ego pribadi seorang Ayah.
Setahun terlewat, aku tak peduli. Apakah kau sepenuhnya bahagia atau setengahnya? Mungkin, memang saatnya. Kamu harus mulai berani dan bertanggungjawab sendiri menuntaskan ribuan momen yang privat.
Terima kasih, El. Sejauh ini, aku disuguhi kenyataan yang jamak. Menjadi mengerti arti kekuatan tetesan mimpi. Mengajariku pengalaman mengecap asin kehilangan. Satu: bahagiakan orang-orang yang mengasihimu, jangan pongah, be kind. Allah bless you...

Dariku:
-Separuhmu-


(diambil dari: http://percakata.blogspot.com/ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar