Minggu, 16 Januari 2011

Untuk yang terkasih. Kekasihku si Pendetak Jantung

asih, lebih dari rindu yang menjalar di pikiranku, hingga mengoyak tiap syaraf di otakku. Sesaat aku ingin berteriak lantang untuk melepas rasa yang menderu hati. Tapi kata apa yang akan kutriakkan? Rindu? Kata itu tak cukup untuk menggambarkan deru hati ini. Malah hanya akan menambah timbunan rinduku. Kau tahu, rindu yang kau tinggalkan tadinya hanyalah satu, kini menjadi berjuta-juta. Entah berapa jumlah tepatnya, aku pun tidak tahu..

Kasih, aku masih berada di tempat yang sama sejak 221 hari lalu. Sejak kau tinggalkan sebuah rindu setelah aku melambaikan tangan pada kamu yang menjejakkan kaki ke timur. Aku masih mengingatnya dengan jelas masa-masa itu.

“Dua hati yang sunyi. Saling menyapa dalam kebisuan hati
Dua hati yang sunyi. Tak berkata-kata, saling diam dalam gelisah menyusun kata.
Dua hati yang sunyi. Saling menunggu untuk bersuara lantang memecah hati”

Suara deburan ombak yang mengalun sama-samar, butiran pasir yang melekat erat di jemari, hembusan angin yang menyibakkan helaian rambut dan langit malam menyinari parasmu. Ya. Aku masih sama seperti itu, hanya saja kini aku adalah sebuah hati yang sunyi, sendiri.

Kasih, langkahmu semakin jauh ke timur. Samar-samar pun aku tak mendengar lagi hentakkan kakimu di bumi ini. Bersamaan dengan itu, detak jantungku memudar. Sejak awal kau adalah si pendetak jantungku. Menghidupiku. Tanpamu, aku bukanlah apa-apa.

Kasih, hingga detik ini –ketika aku menulis surat ini– aku masih berharap kau akan menjejakkan kaki ke arahku dan melambaikan tangan sebagai tanda perjumpaan. Bukan tanda perpisahan. Aku selalu berharap saat ini kau sedang melakukan perjalanan pulang untuk mengetuk pintu hatiku. Selagi kau berada di perjalanan, aku akan menyusun kata untukmu. Kali ini aku menyusun kata dengan sederhana. Tak serumit ketika kita adalah dua hati yang sunyi, aku menyusun kata hingga gelisah yang akhirnya tak terucap. Sesal yang kudapat.

Kasih, ketika kau pulang nanti, aku akan menyuarakanmu lantang hingga memecah kesunyian. Aku akan mengucap kata yang telah lama terhenti di mulutku. “Aku menyayangimu. Dengan rasa dan kata yang memberimu asa”

Aku yang merindukanmu, dengan kasih di tiap kata.

Jogja, 16 Januari 2011.
*Selagi kau pergi, aku banyak menulis surat yang tak tersampaikan. Untukmu.*

----

Tidak ada komentar:

Posting Komentar