Sabtu, 15 Januari 2011

Yang…

Malam Minggu baru saja berlalu. Dan kembali lagi, aku lewati seorang diri. Tanpa kamu. Dan aku pun enggan menanyakan kamu ada di mana, atau mengapa sampai saat ini kamu tidak lagi mencari aku.

Sebetulnya aku ingin menuliskan surat cinta ketiga ini untuk ayahku, tapi entah mengapa, jadi tertulis untuk kamu. Mungkin karena rasa rindu yang mendorong, atau mungkin kamu sedang memikirkan aku saat ini. Ah, yang terakhir mungkin hanya perasaanku saja. Aku hanya menghibur diriku sendiri, bagai wanita penghibur tanpa bayaran.

Mungkin.

Dan memang sesedih itu perasaanku.

Yang,

Sudah hampir empat bulan kita tidak bertemu pandang. Tepatnya, kita terakhir bertemu pada tanggal 18 September tahun yang lalu. Malam Minggu. Aku ingat, karena data digital yang tersimpan dalam foto ini.

Ini tangan kita, Yang. Masih ingat? :))

Sejujurnya aku membenci diriku yang tetap menantimu dengan penuh harap dan iman. Mungkin aku terlalu percaya akan omongan penasehat spiritualku (hey, this makes me sounds like Mayangsari! And you have no idea how much I hate it, and I hate that bitch, even though I’m not any better than her *sighs*) dua bulan sebelum kita bertemu, bahkan sampai kini. Bahwa kamu memang jodohku. Ah, aku sudah pernah bercerita padamu tentang hal ini kan? Kalau kamu lupa, nanti akan aku tulis lagi di suratku berikutnya untuk kamu. Kapan? Itu rahasiaku. Kejutan buat kamu :))

Mungkin.

Dan seyakin itu aku kepada perasaanku yang mungkin. Oksimoron?

Mungkin.

Yang,

Aku mau mengakui sesuatu saat ini. Ingat waktu aku tinggal di Cisarua selama sebulan? Saat itu, dalam perjalanan ke Jakarta, kamu mengirimkan aku foto kotak rokokku yang tertinggal di mobilmu melalui BlackBerry Messenger. Sungguh, Yang. Aku terharu sekali. Padahal mungkin kamu tidak sengaja menyimpannya, dan kotak itu baru kamu temukan saat kamu hendak membersihkan mobilmu. Tapi itu kan dua bulan sejak kotak rokok itu menjadi penghuni jok belakang mobilmu?

Ah, lihat saja. Aku kembali mengibur diri. Bodohnya aku.

Yang,

Asal kamu tahu. Aku ini hanya sedih saja karena aku rindu. Dan aku tidak menyalahkanmu kalau sampai saat ini kamu belum juga bisa menemui aku lagi. Dan aku mendoakan kamu setiap malam supaya kamu segera mendapat pekerjaan lagi, supaya kamu bisa menemuiku saat kamu sudah mempunyai uang. Maafkan aku juga kalau aku pun saat ini sedang terpuruk sehingga tidak dapat membantu kita. Ini bukan perasaan karena kasihan, tetapi aku ingin melakukannya untuk kita. Dan ada aku di dalam “kita”.

Natal yang baru lewat, lalu Malam Tahun Baru, aku sedih sekali karena tidak dapat menghabiskannya bersama kamu. Aku tidak tahu bagaimana perasaan kamu yang sebenarnya, tetapi sempat tertangkap olehku, bahwa sesungguhnya kamu juga ingin bermalam Tahun Baru bersamaku.

Salah tafsir lagikah aku di sini?

Yang,

Aku sudah tidak berani lagi menanyakan apakah kamu masih sayang padaku atau tidak, karena terakhir aku menanyakannya, kamu marah. Kamu bilang, “Susah sih kalau orang nggak merasa disayang!” Dan maafkan aku kalau waktu itu aku menanyakan seberapa sayangmu padaku, setelah kamu menanyakan pertanyaan yang sama padaku, dan aku jawab, “Sayangnya aku ke kamu itu begini: Cuma ada kamu buat aku. Cukup nggak sayang yang kayak begitu buat kamu?”

Saat itu kamu terdiam. Dan setelah itu pembicaraan kita jadi tidak enak lagi. Kamu terusik oleh pertanyaanku. Dan kamu bilang. “Kan kamu tahu aku tuh gimana? Kamu tahu status aku. Kenapa kamu ngomongnya begitu. Bisa nggak sih kita ngomong yang enak-enak aja? Sebetulnya aku nyaman sama kamu, tapi jadi nggak nyaman kalau kamu ngebahas hal ini terus!”

Aku sedih. Dan merasa bersalah. Mungkin aku yang terlalu banyak menuntut.

Yang,

Kamu sedang apa? Tadi malam makan apa? Aku kangen.

Oh ya. Weekend ini aku tidak menginap di Ciganjur seperti biasa. Tidak enak rasanya terus-terusan mengganggu sahabat yang sedang pacaran. Sebetulnya Ciganjur itu dekat kan sama rumah kamu? Maksud aku, kalau saat ini kamu tidak sedang menginap di rumah mama kamu.

Yang,

Ketemuan yuk. Kita cukup nongkrong di warteg sebelah rumah juga boleh. Nggak usah beli bir, cukup minum es teh manis. Yang penting kita bertemu. Sebentar pun boleh.

Yang,

Kamu kangen nggak sih sama aku? Seandainya aku berani menanyakan hal ini lagi secara langsung ke kamu. Tapi aku takut kamu marah. Aku takut kalau aku terlalu sering membuat kamu merasa tidak nyaman, kamu akan pergi. Padahal kalau dipikir lagi, kamu sudah setengah pergi dari aku. Cuma harapan semata yang menahan kamu di sini. Di hati aku.

Yang,

Mungkin, Yang. Mungkin memang kamu orangnya. Kalau kamu tahu teori “The Secret” atau “Law of Attraction”, sebetulnya aku tidak boleh memakai kata “mungkin”. Tapi bahkan kata “mungkin” pun sepertinya sudah terlalu tidak masuk akal dalam pikiran yang sehat. Tapi aku masih percaya, koq. Aku masih percaya bahwa mungkin memang kamu orangnya dan sementara ini mungkin jalannya memang harus seperti ini.

Mungkin, Yang. Mungkin sekali.

Yang,

Aku punya hadiah Natal buat kamu. Kapan ya kira-kira aku bisa memberikannya kepadamu? Bukan sesuatu yang mahal sih, tetapi sesuatu yang waktu aku melihatnya, aku tahu kamu pasti suka. Aku yakin itu.

Yang,

Aku sayang kamu. Dan aku tahu kamu tahu itu. Bahwa aku sayang kamu. Tapi rasanya belum resmi surat cinta ini tanpa aku tulis lagi. Sekali lagi:

Holong rohaku to ho hasian, Yang. Masihol ahu to ho hasian.

Saat kita bertemu lagi nanti, entah kapan, semoga kamu sudah tidak lagi mempertanyakan mengapa aku bisa jatuh cinta kepadamu. Aku tidak lebih hebat darimu. Bunuh pikiran itu dalam kepalamu. Anggap saja memang kamu itu type-ku. Lagipula, bukankah cinta tidak memerlukan alasan?


Pacarmu.

P.S. Kamu tidak penasaran, dari mana saya “bisa” berbahasa Batak? :))



(diambil dari: http://poeticonnie.tumblr.com/ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar