Senin, 17 Januari 2011

Senyum dalam Secangkir Teh

di suatu sudut rumah, habis perjalanan


teruntuk Kecil...
Sore ini aku sudah kembali dari liburanku di Bali. Aku bukan kembali ke Jakarta, tetapi aku akan tetap berada di Magelang untuk beberapa waktu ke depan. Ah, kau belum aku beritahu rupanya bahwa kemarin dulu, aku berhenti dari kantorku untuk pulang kampung, ke Magelang, melanjutkan studiku di jenjang yang lebih tinggi lagi.

Aku pada dasarnya memang ingin menyepi, kemudian sambil membantu Bapakku dengan usaha kecil-kecilannya. Lagipula, orang tuaku harus ada yang menemani salah satu dari anak-anaknya. Maka, kuputuskan biar aku saja yang menemani mereka di rumah. Bosan aku dengan Jakarta, yang makin hari bukannya tambah rapi dan teratur tetapi malah semakin ruwet dan sumpek. Macet dimana-mana. Hahaha... rasanya sekarang ini aku nampak lebih tua karena stres berada di kemacetan parah dan rutinitas yang segunung.

Kau sedang apa di sana, Kecil? Apakah apel Batu masih berbuah saat ini? Oh, jelas di kotamu kan memang surganya apel. Aku duduk di teras, depan ruang tamu tempat kita dahulu pernah bercengkerama, bercanda dan asyik mengobrol ngalor-ngidul berdua. Kamu masih ingat, sayang? Upps.. maaf, aku sepertinya terlalu larut dalam euforia hati. Iya, aku memang dalam kondisi yang sangat baik. Khususnya hatiku. Aku tidak lagi sedih, pun merasa sepi. Alih-alih tinggalkan, bahkan aku mulai lupa bagaimana sebuah kesedihan itu bermula. Kondisi yang harus tetap dipertahankan, menurutku.

Hei, tak apa kan kalau aku tetap memanggilmu Sayang, selain nama Kecil yang buatku sangat istimewa? Tenang saja, takkan punya pengaruh apa-apa buat kita. Aku duduk di sini, di temani secangkir teh melati spesial bikinan Ibuku. Kau pasti juga pernah mencobanya, kan? Ah, jelas.. dulu selama tiga hari kau dan aku pernah menghabiskan liburan berdua di rumah ini. Eh, apa kau kerasan saat itu? Boleh kutebak? Ahaa.. memang kamu kelihatan kerasan dulu. Tapi maaf ya, kamu pernah aku buat menangis hanya gara-gara aku umpetin telepon selulermu. Hahahaha... Aku juga waktu itu ingin menangis juga bersamamu. Kau duduk di kamar, memintaku untuk segera memberi tahu dimana aku simpan hape itu. Ah, sebenarnya ada di tas kecil yang aku bawa. Hihihihi....

cangkir yang kupakai ini, masih sama, sama seperti cangkir yang dahulu pernah tersentuh oleh bibir merahmu. Ya, cangkir putih dengan teknik pembuatan dove atau semacam frosting begitulah, aku pun tak yakin. Kata Ibu sih, hadiah dari sebuah partai yang kini jadi penguasa. Hahaha... kau juga tahu kan, lah wong ada logo partainya kok di badan cangkir. Untungnya ukuran logonya kecil jadi tidak mengurangi keindahan cangkir itu sendiri.

Cangkir yang sama, selalu aku simpan dalam rak kaca di dekat dapur, dimana tidak ada seorang pun yang boleh memakai cangkir itu. Semacam ada nilai tersendiri buatku. Aku sih memang berpesan pada Ibu atau Bapak, kalau cangkir itu jangan dipakai. Biarlah dia terdiam rapi di situ. Hahaha... Berlebihan katamu? Tidak. Aku tidak ingin cangkir itu rusak atau mungkin tersentuh oleh orang-orang lain. Hanya aku yang boleh memakainya. Titik. Lagipula, masih banyak kok cangkir-cangkir yang lain di dapur. Khusus cangkir itu, jangan.

Melihatmu menyesap teh manis panas dengan aroma melati kala itu, aku hanya tertegun saja. Caramu memegang gelas, menikmati setiap tegukan langsung dari cangkir itu membuatku selalu ingin tersenyum. Kemudian kita saling bertatap, mata dengan mata, dan seulas senyum mulai menghiasi wajahmu yang putih bersih. Semacam aura dan geletar-geletar cinta mampu kita berdua rasakan meskipun tanpa pernah terucap kata. Momen paling romantis, kamu tahu, Sayang?

Kini, cuma aku sendiri, ditemani udara sore yang terasa sejuk sehabis panasnya siang, aku melongok ke dalam gelas, menghayati setiap tarikan nafas yang menghirup aroma melati sambil mencari-cari kemanakah senyum yang setahun lalu pernah datang dan menghampiri. Tidak ada dalam teh, tetapi dalam hatiku seolah wajahmu dapat ikut terpantul dalam secangkir teh hangat sore ini.

Teh ini memang bukan teh mahal. Bapak atau Ibu juga tak sanggup untuk membeli teh yang terlalu mahal. Walau bisa, tetap dirasa hanya pemborosan. Ini adalah teh yang sama dengan yang berdua kita minum di suatu sore bulan Maret. Teh tubruk dengan aroma khas yang di Jakarta pun aku tidak bisa menemukan teh yang sama dengan ini. Atau mungkin karena ada kamu, Sayang? Ah, tolong kamu jelaskan.

Sayang, Kecilku, sore ini aku berhasil mengimajinasikan gambarmu, sosok manismu dalam leyeh-leyeh ku menikmati teh ini. Ada semacam keterikatan kuat antara diriku, tempat ini, ah kau juga sama pastinya dengan kenangan-kenangan kita dahulu. Di rumah ini, teras, ruang tamu, kamar tidur, seakan jadi penanda waktu bahwa kau, aku, kita berdua pernah bersama di masa-masa kita menjalin rasa menyusun asa.

Kamu sudah mandi, Kecil? Hari sudah terlalu sore rupanya. Aku harus mandi dulu. Artinya, surat ini memang berhenti sampai di sini. Tidak untuk seterusnya, karena besok aku masih akan menjumpaimu lewat-lewat tulisanku. Banyak hal sepertinya harus aku bebaskan, ceritakan, bagikan agar kamu pun tahu seperti apa hampir 365 hari tanpa kehadiranmu. Aku, aku, dan aku... semakin rindu akan kehadiranmu.

Selamat sore, selamat menikmati senja indah di kotamu.

Salam sayang, Monyetgombal





---Oleh:


(diambil dari: www.eduardtria.co.cc )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar