Senin, 17 Januari 2011

Belahan Jiwaku, Ibu

Untuk yang Tersayang, Belahan Jiwaku, Ibu.
Ibu, apa kabarmu? Walau pun dekat, kadang aku tak begitu mengerti keadaanmu –kesehatanmu–. Kau akan selalu tampak sehat di hadapanku, sekali pun kepala Ibu pusing tujuh keliling memikirkan aku :). Kau tahu, jantungku serasa ingin copot tiap aku melihatmu jatuh sakit, entah hanya pusing biasa atau hipertensi-mu kambuh. Sering kali aku memarahimu ketika kau melakukan hal bodoh, seperti beberapa minggu lalu kau sibuk bermain air di bak mandi rumah. Jujur aku takut kehilanganmu. Ya, itu adalah ketakutan terbesar dalam hidupku.
Kau adalah manusia biasa, layaknya seorang Ibu rumah tangga yang setiap pagi membangunkan suami dan anak-anaknya, menyiapkan sarapan, menunggu mamang sayur, membantu PR anak-anaknya dan menyambut suami sepulang kerja. Tapi bagiku kau adalah malaikatku. Bagaimana tidak, semua hidupku selalu kau penuhi. Sebenarnya tubuhmu terbuat dari apa sih Bu? Baja? Atau jangan-jangan kau robot? Mengapa kau bisa menjadi “doraemonku” selama 20 tahun dalam hidupku? Apa kau tak kelelahan? Setiap pertanyaan ini meluncur dari mulutku, kau pasti akan menjawab “Jika kau sudah menjadi seorang Ibu, pasti kau akan mengerti”. Ya, kelak aku akan mengerti Bu..
Ibu, entah harus berapa milyar kata cinta, sayang dan maaf yang harus kuberikan untukmu. Mungkin jika aku menghabiskan waktu 20 tahun di hidupku untuk berkata cinta, sayang dan maaf untukmu takkan mampu membayar semua yang kau berikan kepadaku. Ibu, dulu aku pernah menuliskan permintaan maafku di selembar kertas dan di bawahnya aku menuliskan balasan dari Ibu .
Ibu maaf.. aku menjadi anak nakal dan membuat Ibu marah.
“Nak, Ibu marah karena Ibu menyayangimu.”
Ibu maaf.. kadang aku tidak menyadari betapa lelahnya Ibu membuatku bahagia.
“Nak, Ibu tidak akan merasa lelah, selama yang Ibu lakukan ini untukmu.”
Ibu maaf.. aku selalu menghabiskan uang Ibu.
“Nak, Ibu tidak akan sayang dengan uang Ibu, selama uang itu untuk pendidikan dan kebutuhan hidupmu.”
Ibu maaf.. karena aku sering membuatmu meneteskan air mata.
“Nak, ibu meneteskan air mata karena sedih melihatmu yang menangis.”
Ibu maaf.. aku tidak bisa membalas semua yang kau berikan.
“Nak, Ibu tak meminta balasan materi dari mu, Ibu hanya ingin kamu menjadi anak yang mengingat Tuhan dan hidup bahagia mencapai mimpi-mimpimu.”
Ibu.. aku tidak sanggup melihat Ibu disakiti.
“Nak, hati Ibu akan lebih sakit jika melihat anak-anak tersayang Ibu disakiti.”
Ibu.. aku tidak akan membiarkanmu dijatuhkan oleh orang-orang yang tidak mengerti tentang kita. Aku akan menjatuhkan mereka lebih dulu.
“Nak, seperti apapun Ibu terjatuh, Ibu hanya ingin anak-anak Ibu tetap disamping Ibu.”
“Biarkan saja mereka berusaha menjatuhkan kita, kita masih mempunyai Tuhan..”
Ya, itu permintaan maafku dan balasan jawaban dari Ibu. Mendengar jawaban Ibu seperti itu saja sudah cukup membuatku menangis. Dan itu cukup menyadarkanku dari sifat egoisku selama ini. Ibu, kau tak mempedulikan apa yang aku beri. Kau hanya peduli dengan kebahagiaan buah hatimu, aku dan kakakku. Aku tahu betul hidupmu tak seberuntung aku. Sejak kecil Ibu sudah menjadi anak yatim. Hidup mandiri tanpa seorang Ayah dan jauh dari Ibunda. Hidupmu kini pun begitu berat. Oh Ibu, jika saja beban hidupmu bisa kubawa, pasti akan kulakukan asalkan kau bisa tersenyum setiap detik…
Ibu, terima kasih telah merawatku sejak aku masih bayi yang belum bisa berjalan hingga aku bisa berlari kencang di tanah lapang. Terima kasih untuk setiap tetesan air mata dan keringat Ibu untukku. Entah berapa banyak sapu tangan yang kau gunakan untuk mengusap parasmu. Terima kasih telah mengulurkan tangan Ibu ketika aku terjatuh. Tanpa kenal lelah menarikku keluar dari keterpurukkan. Dan terima kasih atas harapan yang selalu Ibu berikan untukku.
Terima kasih Ibu. Kau adalah sahabat, pahlawan, belahan jiwaku. Semoga Tuhan memberi yang terbaik untuk hidupmu. Aku mencintaimu…


Cun Pika Piki dari Belahan Jiwamu. Pia.



*Aku tebak kau pasti menangis membaca suratku. Tanganmu pasti sudah berkali-kali mengusap air mata di paras lelahmu. Dan aku juga yakin, kau menangis sejak awal kalimat “Untuk yang Tersayang, Belahan Jiwaku, Ibu.” Ya, kan Bu? Selalu, kau selalu menangis di awal kalimatku :)*

----

(dikirim oleh @veeviivoo di http://imaginationingenue.tumblr.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar